Selasa, 24 April 2012

Letter

Aku akan selalu merindukannya. Semua tentang dirinya. Tentang bagaimana ia meyakinkan aku lewat sinar bola matanya yang cerah dan menampakkan ketegasan. Tentang bagaimana ia memaparkan semua mimpi-mimpinya lewat bibir mungil yang selalu menebarkan liukan senyum yang indah.  Tentang bagaimana ia mendengarkan semua keluh kesahku dan menyeretku ke dunia yang tak pernah aku kunjungi sebelumnya.
Rambutnya yang panjang dan hitam berkilau. Matanya yang bulat dan bersinar bagai batu rubi yang tersiram sinar matahari. Kulitnya yang putih bersih bagai pualam. Suaranya yang menyejukkan bak semilir angin malam yang berhembus di siang bolong. Aku sungguh tak dapat melupakannya.
Aku masih ingat ia sering mengajakku duduk di halaman belakang sekolah. Sebuah tempat sakral yang jarang sekali dikunjungi siswa lain selain kami berdua. Sebuah tempat dimana ia sering mengutarakan segala keinginannya padaku.
“Lo pengen jadi apa setelah lulus nanti?” tanyanya sambil terus melahap Souffle Apricot Almond yang dibawanya dari rumah.
Aku terdiam. Sejujurnya aku tak pernah memikirkan itu. “Entah.”
“Entah? Lo pelajar putih abu-abu semester akhir dan lo nggak tau mau pergi kemana setelah ini?”
“Gua nggak pernah berpikir untuk melanjutkan kuliah. Bokap gua cuma buruh kontruksi dan nyokap gua cuma buruh cuci yang jualan kue di waktu senggang. Gua harus jadi apa?”
“Ya lo harus jadi bos dari sebuah perusahaan kontruksi atau jadi pengusaha kue terkenal!” serunya.
Aku menatapnya tak percaya. Apa yang ada di pikiran gadis ini sebenarnya?
“Gua tau lo punya latar belakang ekonomi yang buruk. Tapi, coba liat diri lo. Lo itu pintar Surya! Lo bisa ambil beasiswa bahkan mungkin beasiswa keluar negeri?”
“Itu berlebihan.”
“Nggak ada yang berlebihan. Bob Sadino dulunya jualan kue keliling kampung, tapi sekarang justru orang-orang kampung itu memuji namanya.” Gadis disampingku ini menyuap lagi Souffle-nya. “Lo cuma butuh tekad dan rasa percaya diri kok,” tambahnya.
Aku terdiam mencerna kata-katanya. Dan aku menyadari, semua perkataannya benar.
Setelah hari itu, aku jarang lagi bertemu dengannya. Waktu ujian yang semakin dekat membuatnya harus sering mengambil waktu pelajaran tambahan di tempat bimbingan belajarnya atau mengambil waktu untuk privat. Pertemuan kami jadi hanya sebatas bercakap-cakap di depan pintu kelas atau saling menyapa saat bertemu di koridor sekolah.
Aku sendiri bertekad untuk membuatnya bangga padaku. Aku belajar lebih keras setiap malam. Mengambil jadwal belajar tambahan dengan mengadakan belajar kelompok bersama teman-temanku, hingga merogoh uang tabunganku untuk membeli suplemen vitamin penambah daya ingat.
Untungnya, usahaku tidak sia-sia. Ujian berlangsung kemudian, dan hasil yang aku dapat cukup memuaskan. Paling tidak, aku berada di antara daftar 2o anak dengan nilai terbaik satu sekolah. Kulihat namanya berada jauh di atasku. Ia berhasil meraih peringkat lima. Luar biasa.
Tekadku untuk membuatnya bangga padaku tak berhenti sampai disitu. Ku ikuti lagi beberapa tes beasiswa baik dalam maupun luar negeri. Meski masih tak jelas akan memilih jurusan apa, paling tidak aku harus mendapatkan beasiswa itu.
Esoknya, aku berniat untuk bertandang kerumahnya. Sudah hampir dua bulan sibuk dengan kegiatan masing-masing, aku jadi benar-benar melupakannya dan baru menyadari kalau aku begitu merindukannya. Dengan baju terbaik yang aku miliki, dan sekotak coklat ukuran kecil, ku tekan bel bel   pintu rumahnya dan seorang wanita paruh baya dengan kebaya coklat mendatangiku sambil tergopoh-gopoh. Dia Bi Sumi. Pembantu disana.
“Cari non Chiara ya?” tanyanya sudah mengenaliku.
Aku mengangguk. “Chiaranya ada?”
“Wah maaf nak Surya. Non Chiara nya lagi dirawat di rumah sakit. Nak Surya nggak tau?”
“Rumah sakit?” aku mengulangi.
Bi Sumi mengangguk. “Non Chiara kena kanker otak, nak Surya. Sudah seminggu ini katanya Bapak sama Ibu belum keluar dari ICU. Keadaannya lagi kritris.”
Deg. Kalimat terakhir yang di ucapkan Bi Sumi dengan cepat menusuk dadaku. Tenggorokanku terasa tercekat. Jantungku berdegup kencang dan nafasku naik turun tak beraturan. Ku jatuhkan kotak coklat itu di lantai dan dengan cepat ku berlari menuju rumah sakit. Menuju ruang ICU.
Disana, aku berhasil menemui Tante Ida. Wajah wanita paruh baya itu nampak tirus dan pucat. Di bawah bola matanya terdapat kantung yang tebal dan sembab. Ia pasti terus menangis semalaman. Sementara Oom Anwar, baru keluar dari dalam ruangan ketika aku tiba. Ia mengenaliku.
“Surya?” tanyanya memastikan.<span class="fullpost">
Aku berjalan menghampiri mereka. “Chiara kenapa Oom, Tante?” tanyaku tanpa basa-basi.
Oom Anwar menatap istrinya. “Begini Surya. Chiara, divonis menderita kanker otak stadium akhir.”
“Stadium akhir?”
Oom Anwar mengangguk. “Kemungkinan terburuk yang akan ia dapatkan adalah, hidupnya mungkin hanya dua bulan lagi.”
Lagi-lagi kalimat terakhir itu menohok jantungku. Badanku terasa lemas dan aku merasa kepalaku begitu berat. Perutku terasa mual dan ingin rasanya aku meninju sesuatu sekarang. Ku intip sosok Chiara yang terbaring lemah dari jendela kaca pintu. Ku tarik nafas dalam-dalam dan ku buka pintu ruang ICU perlahan.
Seketika, suasana dingin yang dipenuhi bau alkohol menyambutku. Aku benci suasana ini. Begitu menegangkan dan mencekam. Seakan-akan aku merupakan satu-satunya orang yang hidup di dalam rumah seorang zombie.
Ku langkahkan kakiku mendekati ranjang. Dan barulah terlihat jelas wajah Chiara yang tengah memakai tabung oksigen. Di sampingnya, ada monitor pemancar denyut jantung yang bunyi ‘bip-bip’ nya bagaikan bunyi suara gaungan singa yang kelaparan dan kau akan merasa ketakutan bila berada di dekatnya. Beberapa kabel lain terhubung ke dadanya. Selang infus mengalir menuju nadi kanannya. Dan senyumnya… ya Tuhan, bahkan disaat seperti ini senyum itu pun tak hilang dari wajah cantiknya.
“Chiara,” panggilku lirih. “Ini gua Surya. Betapa bodohnya gua memperkenalkan diri gua sendiri ke elo padahal gua yakin lo mengenali suara gua.” Aku tertawa kecil. Tanganku menggenggam erat tangan Chiara.
“Ra, dulu lo pernah nanya ke gua tentang apa yang bakal gua lakuin sehabis gua keluar dari sekolah kan?” aku menatap wajahnya. “Sekarang, gua tau apa yang bakal gua lakuin, Ra. Gua… pengen jadi seorang dokter. Gua pengen ngobatin orang yang sakit terutama elo. Gua pengen ngeliat lo sembuh. Gua nggak mau ngeliat lo begini. Gua mau ngeliat senyum lo lagi. Kalau gua jadi dokter nanti, gua janji gua bakal ngobatin lo dan ngerawat lo sampai sembuh.” Aku menelan ludah. Tak terasa air mata mengalir deras melewati pipiku.
“Ra, gua… gua sayang sama lo, Ra. Gua nggak mau kehilangan lo. Gua nggak suka ngeliat lo begini. Lo harus bangun, Ra!” seruku kesal. Kesal karena Chiara sepertinya tak mendengar semua ucapanku, kesal karena Tuhan membiarkan gadis seperti Chiara harus berjuang melawan penyakitnya.
Aku menunduk. Genggaman tanganku semakin erat pada tangan Chiara. Dan tak lama, kuarasakan ada yang bergerak. Tangan Chiara! Tangan Chiara bergerak untuk membalas genggamanku.
Aku mengangkat lagi kepalaku. Ku lihat Chiara perlahan membuka matanya. Pelan-pelan, dan dia menatapku. Senyumnya mengembang dan sinar matanya yang cerah kembali menghiasi wajahnya yang pucat.
Aku menghapus air mataku. “Hai, Ra,” sapaku berusaha tegar.
“Hai, Sur…ya,” jawabnya terbata. “Gua… dengar semua…nya. Tentang… mimpi lo,” tambahnya pelan.
Aku mengangguk. “Gua mau jadi dokter, Ra. Gua mau nyembuhin lo. Tolong, sampai waktu itu datang, lo harus bertahan buat gua.”
Chiara mengangguk. “Gua… menunggu, Surya. Gua... menunggu,” katanya sambil setengah terpejam.
Aku terdiam. Lagi-lagi air mataku mengalir. Aku sadar, Chiara baru pulih. Tak seharusnya aku mengajaknya berbicara seemosional ini. Aku harus membiarkannya beristirahat.
Setelah hari itu, ku dengar keadaan Chiara jauh lebih baik. Ia sudah dipindahkan ke ruang rawat inap dan para dokter berkata kalau ini merupakan mukjizat. Tapi meski begitu, tubuh Chiara menjadi sangat kurus setiap harinya. Ia tidak nafsu makan dan sering terjaga tiap malam.
“Lo harus makan, Ra,” suruhku di satu waktu.
“Nggak mau.” Chiara menggeleng. “Lo bilang gua jelek kalo lagi gendut, sekarang gua mau kurus.” Ia terkekeh kemudian. Tawanya memang tak pernah hilang sepanjang waktu. Begitu juga senyumnya yang selalu mengembang setiap harinya. Membuatku yakin kalau Chiara akan baik-baik saja.
Acara perpisahan tiba. Sekaligus hari dimana akan diumumkannya hasil dari tes beasiswa yang telah dilaksanakan oleh beberapa instansi sekolah. Aku sudah persiapkan diri untuk hasil yang terburuk. Biar bagaimanapun, aku sudah berusaha maksimal.
Chiara tidak hadir dalam acara itu. Dokter melarangnya ikut dengan alasan ia masih belum cukup kuat untuk duduk berlama-lama di dalam ruangan. Aku datang bersama ibuku pagi itu. Dengan kemeja lungsuran dari ayah yang biasa digunakannya untuk melamar pekerjaan dulu, serta sepatu dan jas hitam hasil pinjaman dari majikan ibu, aku duduk di ruangan itu dengan perasaan tidak karuan.
Ibu bilang, aku bisa lulus saja sudah merupakan anugrah yang terindah untuknya yang hanya lulusan sekolah dasar. Tapi aku ingin lebih dari itu. aku ingin mendapatkan beasiswa itu meski aku tak benar-benar yakin pada diriku sendiri.
Acara dimulai. Begitu membosankan. Sejak awal hingga akhir acara yang ada hanyalah sambutan. Entah dari kepala sekolah, wakil kesiswaan, beberapa guru bidang studi, atau pidato anak-anak yang memiliki nilai terbaik satu sekolah. Kalaupun ada pertunjukkan, hanya sebuah pertunjukkan kecil yang dimainkan oleh anak-anak kelas 10  dan 11 yang bahkan tak aku kenali siapa mereka. Sampai akhirnya, salah seorang guru BP naik ke atas podium dan mengatakan kalau beliau akan menyebutkan nama anak yang akan mendapatkan beasiswa.
“Hanya ada tiga orang,” katanya dari microphone. “Yang pertama saya panggil, Maura Arinadya dari kelas 12 Bahasa-1”
Seketika ruangan berubah meriah. Kata ‘selamat’ terdengar riuh mengiringi langkah kaki seorang gadis dengan balutan kebaya hijau menuju ke atas panggung. Ia tak henti mengumbar senyum.
“Yang kedua, dari 12 IPS-3, Bagus Andrea.”
Lagi-lagi ruangan terdengar riuh. Bagus berjalan dengan mantap menuju ke atas panggung setelah sebelumnya ia sempat menyalami tangan ibunya.
“Dan yang terakhir, dari 12 IPA-1.” Si guru menghentikan kata-katanya sejenak. “Surya Kurniawan.”
Dapat kurasakan jantungku lepas dari tempatnya sekarang. Mulutku menganga dan aku begitu senang sampai tak tau apa yang harus aku lakukan. Beberapa temanku menepuk pundakku dari belakang, memberi selamat. Ibuku menatapku bangga. Aku bangkit dari tempat dudukku dan perlahan berjalan menuju panggung. Tepuk tangan masih menggema dan dapat aku dengar riuh suara teman-teman sekelasku meneriaki namaku.
Kepala sekolah maju kemudian. Menyerahkan piagam, trophy, dan juga tanda bukti berupa cek yang bisa aku cairkan setelah aku masuk ke perguruan tinggi negeri. Aku begitu bahagia. Kata-kata Chiara akirnya jadi kenyataan.
Sepulang dari acara, aku langsung berlari menuju rumah sakit. Dan langkah kakiku terhenti ketika melihat ranjang Chiara telah bersih. Aku bertanya pada suster yang berada disana dan mereka mengatakan kalau Chiara sudah pulang beberapa menit yang lalu. Ini hebat. Aku mendapatkan beasiswa dan Chiara akhirnya diizinkan pulang. Aku harus merayakannya.
Rumah Chiara begitu ramai ketika aku tiba. Belasan mobil terparkir memenuhi pelataran hingga ke jalan disekitarnya. Beberapa orang dengan pakaian hitam berlalu lalang. Bendera kuning melambai tepat didepan rumah berlantai dua itu. Aku terpaku. Ada apa ini sebenarnya?
Ku terobos kerumunan pengunjung yang menyemut di halaman, ku langkahkan kakiku menuju ruang tamu tanpa permisi. Dan disana, di bagian tengah ruangan itu, kulihat Tante Ida tengah menangis di depan tubuh seseorang yang tengah tertidur lelap dalam balutan kain batik. Di belakangnya, Oom Anwar menenangkan. Sesekali memeluk istrinya penuh kasih.
Aku melangkah mendekat. Piagam dan trophy masih berada di tanganku. Dengan tangan gemetar, ku singkap kain penutup wajah orang yang tengah tertidur itu. Dan seketika itu, aku terkesiap. Ia Chiara. Orang yang tengah tertidur itu Chiara.
Wajah gadis itu nampak tirus namun tenang dalam tidur panjangnya. Kulitnya yang putih bersih, nampak lebih pucat sekarang. Satu hal yang tak berubah. Senyum itu. Senyum yang selalu membangkitkan segala rasa optimis dan keyakinan dalam diri siapa saja yang melihatnya. Senyum yang selalu jadi pelengkap kecantikannya. Senyum itu, meski kali ini nampak begitu kaku, namun tetap terlihat tegas dan manis. Senyum itu, aku akan selalu merindukannya.
Bahkan hingga saat ini. Ketika aku telah mengganti seragam putih abu-abuku dengan jas putih dan stetoskop yang menggantung di leherku. Ketika aku sudah mampu mengobati orang lain dengan kanker otak yang bersarang ditubuh mereka. Ketika aku duduk disini, di depan pusaranya. Di depan pahatan indah bertuliskan nama ‘Chiara Hakim.’
Terima kasih, Chiara. Karena sudah mengizinkanku melihat mata paling cerah yang tak pernah dimiliki siapapun. Karena sudah mau memperlihatkan senyuman paling indah yang tak pernah dimiliki siapapun. Karena sudah mau mengajarkanku untuk menjadi orang yang optimis dalam menjalani hidup ini. Semua ini, untukmu Chiara. Pengabdianku, untuk menghilangkan rasa penyesalanku karena tak berhasil menyelamatkan hidupmu. Terima kasih Chiara, untuk pernah menjadi sahabatku. Aku akan selalu merindukanmu.

Salam sahabatmu, Dr. Surya Kurniawan.

Created By : SAS
</span>

0 komentar:

Posting Komentar