“Asshalatukhairumminannaum…
Asshalatukhairumminannaum…” adzan menggema di balik keheningan subuh. Kokok
ayam jantan saling sahut-menyahut di pekatnya udara fajar. Embun pagi terjatuh
dari rahim langit membasahi untai dedaunan, pertanda lembaran pagi akan segera
datang menjejaki bumi. Para petani mulai berlalu-lalang, bersiap banting tulang
pergi ke sawah ‘tuk menaklukkan tanah, lumpur dan lintah-lintah nakal.
Lampu-lampu 5 watt di pekarangan yang semula menyala, kini secara beruntun dari
rumah ke rumah mulai dipadamkan. Suasana kampong yang sibuk dan tenang.
Mina
pun sudah mandi dan shalat subuh. Tiba-tiba ponselnya bordering, ada sebuah
pesan masuk. Tertulis dari kang Asep:
‘Mina, bisakah kau ke tempat biasa
kita bertemu? Akang ingin bicara. Kalau bisa secepatnya. Akang sedang
menunggu.’
Dengan segera Mina membalas
pesannya:
‘Baik kang. Tunggu sebentar.’
Dengan
jaket loreng hitamnya Mina langsung bergegas menuju tempat yang dimaksud dengan
melewati jalan setapak yang tak begitu jauh dari rumahnya. Sebuah tempat
rahasia dimana pasangan kekasih itu serin bertemu. Di bawah pohon rambutan itu
sengaja telah Kang Asep buatkan tempat duduk buat mereka berdua. Di batang
pohon berdaun lebat itu tertuliskan ukiran huruf M & A dengan bentuk hati
yang mengelilinginya. Dari situ bisa terlihat barisan bukit-bukit hijau yang
menjulur, lading-ladang padi yg mulai menguning, begitu juga udara pagi yang
tak kalah sejuk dan dingin seperti di kutub utara.
Dari
kejauhan Mina melihat sekelilingnya. Di ujung sana mulai terlihat kang Asep
yang sedang menunggunya. Sambil melanjutkan perjalanan, ia menghirup
dalam-dalam sejuknya udara pagi. Sambil berjalan mendekat dan terus mendekat,
perasaan Mina agak ragu., karena ada perasaan tak enak yang tengah menggelayuti
pikirannya. Bayangan kang Asep yang semula samar kina mulai terlihat jelas.
Kang Asep menyambut kedatangannya dengan senyumannya yang manis yang bahkan
lebih manis dari gula jawa.
“Mina,
akhirnya kau datang juga.” Lirih kang Asep dengan wajah gelisah. Mina langsung
duduk dan menanyakan ada perihal apa sampai ia harus datang ke sini di pagi
sebuta ini.
“Hmm, aku ingin pamit padamu. Aku
harus pergi, Mina.”
“Pergi ke mana Kang? Dan kenapa
harus pergi? Kau akan meniggalkan begitu saja hubungan kita selama 5 tahun
lamanya?!” bentak Mina dengan mata berkaca-kaca. Perlahan gerimis mulai muncul
dari kedua matanya yang kuyu. Dengan jemarinya yang lentik kang Asep berusaha
menyeka gerimis yang mulai jatuh ke dinding pipi orang yang dikasihinya itu.
“bukan begitu, Mina… tapi akang
akan merantau ke kota, daripada harus kerja serabutan, lebih baik aku mencari
pekerjaan di sana. Ini juga demi hubungan kita, Mina. Gara-gara masalah
pekerjaan, hubungan kita tak direstui. Dan aku pasti kan kembali membawa uang
yang banyak untuk membeli rumah, sawah dan aku akan segera menikahimu, Mina.”
Bujuk kang Asep dengan nada meyakinkan.
Tubuh
Mina kaku. Lidahnya kelu. Nyalinya rapuh. Batinnya keruh. Mulutnya seolah
terkunci rapat. Mina begitu shock atas apa yang telah dinyatakan oleh orang
yang begitu dicintainya. Kini gemuruh tengah bersarang di hatinya. Dirangkul
tubuhnya yg gemetar oleh kang Asep. Ia menatap sendu wajah Mina yang indah.
Bola matanya ang coklat dan bulat bagikan gundu, bulu matanya yang lentik
bagaikan kaki kelabang, alisnya yang melengkung laksana pelangi di senja hari,
hidungnya yang mancung, tak luput juga pipinya yang empuk seperti kue lapis
legit.
Sebenarnya
Asep sangat tak ingin meninggalkan kembang desa yang telah ditaklukinya itu.
Tapi, demi Mina dan masa depannya, kang Asep merasa harus melakukan hal itu.
Matanya jadi ikut berkaca-kaca terbawa suasana. Sebenarnya kanga Asep tak tega
melihat raut wajah Mina, tapi ia tahan gejolak yang membara di hatinya dan
berusaha menguatkan diri.
“Baiklah Mina… akang pergi dulu.
Ingatlah Mina, kenangan kita akan selalukuukir dalam lembaran sanubariku,
tertumpu menjadi sebuah bias cahaya yang ‘kan memantul di langit itu.”
Ungkapnya seraya menengadahkan wajah tampannya ke langit.
“Jika kau rindu padaku, lihatlah
langit itu. Bayangkanlah ada awan yang tengah membentuk wajahku, niscaya wajah
itu akan tersenyum padamu,” lanjutnya seraya tersenyum haru.
“Baiklah, akang pergi dulu. Jaga
dirimu baik-baik…” ia pamit lalu berdiri meninggalkan Mina. Tidak lupa dengan
tas hitamnya yang sudah tersleting rapat. Ia melangkah pergi.
Mina
terus mencermati langkah orang yang terlanjur disayanginya itu. Perlahan
bayangannya yang nyata mulai hilang seolah ditelan kabut di ujung jalan itu.
Diiringi siulan burung nan seolah menyanyikan lagu salam perpisahan.
Kini
kegelisahan seakan mengepung hatinya merobek celah-celah kalbu. Ingin rasanya
ia memuntahkan segala rasa takut, sedih, dan semua rasa-rasa yang begitu
mengusik relung batinnya. Ia pun tak begitu mengerti mengapa ia harus gelisah,.
Tetapi yang memang saat ini diinginkan adalah gelisah dan gelisah. Tetapi
perasaan disatu sisi hatinya yang lain juga ikut berkecamuk. Hatinya mengecam:
Ia harus bertarung dengan perasaan bodohnya itu. Dan tiba-tiba saja ada sebuah
kekuatan yang merasuki jiwanya. Ia merasa harus bersikap positif, yakin bahwa
kang Asep pasti kembali dan akan segera menikahinya. Ya, segera menikahinya.
Membilang butir cinta diantara
alunan desah angin.
Memetik kelopak rindu ditengah
goyangan rerumputan.
Kikis naluri kegalauan…
Indah semua itu…
Semua itu… semua itu…
Semoga tak semu.
Kumasih menanti…
Dan ‘kan terus menanti…
Sebari merajut hening kabut
dengan benang kesetiaan
dan jarum waktu yang
memisahkan kita.
Akan kusulam menjadi
Senandung kenangan biru
Yang kan terpatri di jiwa nan
menggebu…
Senandung
itulah yang selalu dijadikan nyanyian dalam hati kecilnya. Berharap suatu saat
nanti pasti kang Asep akan segera menikahinya. Ya, suatu saat nanti yang entah
kapan…
Created By : EVE
Created By : EVE
0 komentar:
Posting Komentar