Sabtu, 21 April 2012

Merajut Kabut


“Asshalatukhairumminannaum… Asshalatukhairumminannaum…” adzan menggema di balik keheningan subuh. Kokok ayam jantan saling sahut-menyahut di pekatnya udara fajar. Embun pagi terjatuh dari rahim langit membasahi untai dedaunan, pertanda lembaran pagi akan segera datang menjejaki bumi. Para petani mulai berlalu-lalang, bersiap banting tulang pergi ke sawah ‘tuk menaklukkan tanah, lumpur dan lintah-lintah nakal. Lampu-lampu 5 watt di pekarangan yang semula menyala, kini secara beruntun dari rumah ke rumah mulai dipadamkan. Suasana kampong yang sibuk dan tenang.
            Mina pun sudah mandi dan shalat subuh. Tiba-tiba ponselnya bordering, ada sebuah pesan masuk. Tertulis dari kang Asep:
‘Mina, bisakah kau ke tempat biasa kita bertemu? Akang ingin bicara. Kalau bisa secepatnya. Akang sedang menunggu.’
Dengan segera Mina membalas pesannya:
‘Baik kang. Tunggu sebentar.’
            Dengan jaket loreng hitamnya Mina langsung bergegas menuju tempat yang dimaksud dengan melewati jalan setapak yang tak begitu jauh dari rumahnya. Sebuah tempat rahasia dimana pasangan kekasih itu serin bertemu. Di bawah pohon rambutan itu sengaja telah Kang Asep buatkan tempat duduk buat mereka berdua. Di batang pohon berdaun lebat itu tertuliskan ukiran huruf M & A dengan bentuk hati yang mengelilinginya. Dari situ bisa terlihat barisan bukit-bukit hijau yang menjulur, lading-ladang padi yg mulai menguning, begitu juga udara pagi yang tak kalah sejuk dan dingin seperti di kutub utara.
            Dari kejauhan Mina melihat sekelilingnya. Di ujung sana mulai terlihat kang Asep yang sedang menunggunya. Sambil melanjutkan perjalanan, ia menghirup dalam-dalam sejuknya udara pagi. Sambil berjalan mendekat dan terus mendekat, perasaan Mina agak ragu., karena ada perasaan tak enak yang tengah menggelayuti pikirannya. Bayangan kang Asep yang semula samar kina mulai terlihat jelas. Kang Asep menyambut kedatangannya dengan senyumannya yang manis yang bahkan lebih manis dari gula jawa.
            “Mina, akhirnya kau datang juga.” Lirih kang Asep dengan wajah gelisah. Mina langsung duduk dan menanyakan ada perihal apa sampai ia harus datang ke sini di pagi sebuta ini.
“Hmm, aku ingin pamit padamu. Aku harus pergi, Mina.”
“Pergi ke mana Kang? Dan kenapa harus pergi? Kau akan meniggalkan begitu saja hubungan kita selama 5 tahun lamanya?!” bentak Mina dengan mata berkaca-kaca. Perlahan gerimis mulai muncul dari kedua matanya yang kuyu. Dengan jemarinya yang lentik kang Asep berusaha menyeka gerimis yang mulai jatuh ke dinding pipi orang yang dikasihinya itu.
“bukan begitu, Mina… tapi akang akan merantau ke kota, daripada harus kerja serabutan, lebih baik aku mencari pekerjaan di sana. Ini juga demi hubungan kita, Mina. Gara-gara masalah pekerjaan, hubungan kita tak direstui. Dan aku pasti kan kembali membawa uang yang banyak untuk membeli rumah, sawah dan aku akan segera menikahimu, Mina.” Bujuk kang Asep dengan nada meyakinkan.
            Tubuh Mina kaku. Lidahnya kelu. Nyalinya rapuh. Batinnya keruh. Mulutnya seolah terkunci rapat. Mina begitu shock atas apa yang telah dinyatakan oleh orang yang begitu dicintainya. Kini gemuruh tengah bersarang di hatinya. Dirangkul tubuhnya yg gemetar oleh kang Asep. Ia menatap sendu wajah Mina yang indah. Bola matanya ang coklat dan bulat bagikan gundu, bulu matanya yang lentik bagaikan kaki kelabang, alisnya yang melengkung laksana pelangi di senja hari, hidungnya yang mancung, tak luput juga pipinya yang empuk seperti kue lapis legit.
            Sebenarnya Asep sangat tak ingin meninggalkan kembang desa yang telah ditaklukinya itu. Tapi, demi Mina dan masa depannya, kang Asep merasa harus melakukan hal itu. Matanya jadi ikut berkaca-kaca terbawa suasana. Sebenarnya kanga Asep tak tega melihat raut wajah Mina, tapi ia tahan gejolak yang membara di hatinya dan berusaha menguatkan diri.
“Baiklah Mina… akang pergi dulu. Ingatlah Mina, kenangan kita akan selalukuukir dalam lembaran sanubariku, tertumpu menjadi sebuah bias cahaya yang ‘kan memantul di langit itu.” Ungkapnya seraya menengadahkan wajah tampannya ke langit.
“Jika kau rindu padaku, lihatlah langit itu. Bayangkanlah ada awan yang tengah membentuk wajahku, niscaya wajah itu akan tersenyum padamu,” lanjutnya seraya tersenyum haru.
“Baiklah, akang pergi dulu. Jaga dirimu baik-baik…” ia pamit lalu berdiri meninggalkan Mina. Tidak lupa dengan tas hitamnya yang sudah tersleting rapat. Ia melangkah pergi.
            Mina terus mencermati langkah orang yang terlanjur disayanginya itu. Perlahan bayangannya yang nyata mulai hilang seolah ditelan kabut di ujung jalan itu. Diiringi siulan burung nan seolah menyanyikan lagu salam perpisahan.
            Kini kegelisahan seakan mengepung hatinya merobek celah-celah kalbu. Ingin rasanya ia memuntahkan segala rasa takut, sedih, dan semua rasa-rasa yang begitu mengusik relung batinnya. Ia pun tak begitu mengerti mengapa ia harus gelisah,. Tetapi yang memang saat ini diinginkan adalah gelisah dan gelisah. Tetapi perasaan disatu sisi hatinya yang lain juga ikut berkecamuk. Hatinya mengecam: Ia harus bertarung dengan perasaan bodohnya itu. Dan tiba-tiba saja ada sebuah kekuatan yang merasuki jiwanya. Ia merasa harus bersikap positif, yakin bahwa kang Asep pasti kembali dan akan segera menikahinya. Ya, segera menikahinya.
Membilang butir cinta diantara alunan desah angin.
Memetik kelopak rindu ditengah goyangan rerumputan.
Kikis naluri kegalauan…
Indah semua itu…
Semua itu… semua itu…
Semoga tak semu.

Kumasih menanti…
Dan ‘kan terus menanti…
Sebari merajut hening kabut
dengan benang kesetiaan
dan jarum waktu yang memisahkan kita.
Akan kusulam menjadi
Senandung kenangan biru
Yang kan terpatri di jiwa nan menggebu…
            Senandung itulah yang selalu dijadikan nyanyian dalam hati kecilnya. Berharap suatu saat nanti pasti kang Asep akan segera menikahinya. Ya, suatu saat nanti yang entah kapan…

Created By : EVE

0 komentar:

Posting Komentar