Minggu, 22 April 2012

Maaf


Suasana sekolah jam-jam segini memang lumayan sepi, karena memang jam pelajaran sudah selesai. Tinggal Aku dan Vira yang masih setia duduk-duduk di taman sekedar menunggu matahari agak turun ke barat. “Vir, aku boleh minta tolong nggak?”, tanyaku setengah memelas. “Minta tolong apaan?”, jawab Vira masih serius dengan komik ditangannya. “Kamu masih inget Luna kan? Mantanku yang sekarang pengen banget baikkan sama aku?” “Hem,,,trus?” “Dia nggak bakalan nyerah bikin aku nerima dia lagi” “Terus” “Aku tuh risih banget sama sikap dia akhir-akhir ini. Dia tuh kayak satpam aku aja. Segala urusanku dia tau” “Terus?” “Dia bakalan bener-bener mundur kalo aku udah punya cewek dan dia harus tau siapa cewek itu” “Terus?” “Kok terus-terus sih. Sebenernya kamu dengerin ceritaku nggak sih”. Akhirnya Vira menutup komiknya. “Iya aku dengerin. Sekarang kamu maunya apa?” “Aku mau minta tolong kamu. Aku mau kamu pura-pura jadi cewekku. Terus aku kenalin ke Luna. Dengan begitu Luna nggak akan ganggu aku lagi” “Apa !!!”, Vira kaget mendengarnya. “Nggak usah screaming gitu napa sih? Biasa aja lagi” “Emang nggak ada ide laen”. Aku menggeleng. “Kenapa sih mesti aku? Gimana kalo Putri aja. Dia kan cantik, tinggi, pinter. Serasi banget deh sama kamu. Lagian kamu kan juga akrab sama dia. Jadi kalo ngomong masih nyambung” “Nggak bisa, Vir.  Kalo kamu kan udah tau ceritanya dari awal. Jadi kalo ada apa-apa paling nggak kamu bisa mengantisipasi”, aku terus memberi alasan. “Sori, Rik, tapi aku nggak bisa” “Kenapa, Vir? Masa kamu nggak mau nolongin sahabat kamu sih?” “Bukannya nggak mau , Rik. Tapi nggak bisa” “Terus alasannya apa?” “Aku nggak bisa nanggung resikonya. Kamu yakin, kalo Luna tau kamu udah punya cewek, dia akan ngejauhin kamu? Kalo dia kirim intel buat mata-matain kamu gimana? Terus kalo dia tahu ini cuma bo’ongan gimana?”. Kami terdiam sejenak. “Ya udah kalo kamu nggak mau nolongin aku”, kataku agak kecewa. “Idih di bilang nggak bisa, bukannya nggak mau” “Ye,,,sama aja kan?” “Nggak sama lagi” “Whatever lah. Mau pulang bareng nggak? Udah nggak panas nih”. Vira mengangguk kemudian mengikuti langkahku.
            Sudah 3 hari semenjak kejadian di sekolah sore itu, aku dan Vira tidak pernah membahasnya lagi. Aku dan Vira sudah bersahabat sejak 1,5 tahun yang lalu. Tepatnya setelah kami masuk SMA yang sama. Vira adalah orang kepercayaanku. Aku selalu menceritakan apa yang ku alami padanya. Dan Vira selalu memberi solusi bagi masalahku atau hanya sekedar pendengar setia cerita-ceritaku. Termasuk cerita Luna, mantan pacarku. Tapi satu hal yang selalu jadi pertanyaanku, Vira jarang sekali bercerita panjang lebar padaku. Dan Aku pun tak pernah bertanya padanya. Aku takut menyinggung persaannya. Aku pikir biar Vira sendiri yang nantinya cerita padaku. Tapi lama kelamaan aku penasaran juga pada sikapnya itu. Apalagi sejak ada 2 cowok beda jurusan yang terang-terangan nembak dia. Dengan cueknya dia menolak cowok-cowok itu. Hingga suatu hari… “Vir, aku mau tanya boleh nggak?” “Ya”, jawab vira sambil terus membaca novel di tangannya. “Kalo boleh tau alasan kamu nolak Mikki sama Agung apaan sih? Padahal banyak cewek yang ngefans sama Mikki. Eh, malah kamu tolak. Kamu tuh aneh. Jangan-jangan kamu lesbian ya”, Godaku. “Hus,,, ngawur. Aku masih normal lagi. Pengen tau kenapa? Soalnya kalo aku punya cowok, terus yang nemenin kamu siapa? Aku kan orangnya setia kawan”, Vira tertawa. “Sialan, aku serius nih” “Aku juga serius”. Vira nggak mau ngalah. “Nyerah deh ngomong sama kamu”. Vira cuma tertawa mendengarnya. “Ternyata manis juga cewek di sampingku ini”, kataku dalam hati. Deg,,, tiba-tiba seperti ada persaan aneh di hatiku. Sampai di rumah aku terus memikirkan ada apa sebenarnya dengan Vira. Kenapa dia begitu anti dengan cowok. Apa dia sudah punya pacar. Tapi aku nggak pernah sekalipun melihatnya jalan dengan cowok. Di dompet ataupun bukunya tidak pernah ada foto cowok ataupun nama seseorang. Kalaupun dia trauma karena pernah disakiti oleh cowok, dia nggak pernah menunjukkan gejala-gejala seperti itu. “Vira, kamu sahabatku yang penuh misteri”, kataku. Tiba-tiba aku berpikir, “Selama ini aku adalah cowok yang paling beruntung karena aku paling dekat dengan Vira”.
            Keesokan harinya,,, “Vir, anterin aku ke toko buku yok !”, ajakku. “Tumben kamu ke toko buku, Rik. Nggak salah alamat?” “Entar pulangnya aku traktir deh” “Tawaran yang bagus tuh, ayok deh” “Duh, senengnya kalo denger traktiran”. Vira tertawa. “Ternyata dia memang manis. Aduh, aku kenapa lagi?”, ungkapku dalam hati. Sedang enak-enaknya memilih buku tiba-tiba ada yang menepuk pundakku. “Hei, Rik. Senengnya bisa ketemu kamu di sini”. Aku cuma tersenyum kecut begitu tau siapa yang menyapaku. “Eh, Luna” “Kamu sama siapa, Rik?”, tanyanya. Aku langsung teringat Vira. Spontan aku menjawab, “Cewekku. Tuh dia di sana”. Telunjukku mengarah pada rak tempat novel-novel. Sejenak aku melihat raut muka kecewa pada wajah Luna. Tapi kemudian dia kembali tersenyum. “Kenalin dong”, ajaknya. Tidak berapa lama kami sudah sampai di tempat Vira sedang membaca novel. Aku memegang pundaknya kemudian ia tersenyum. “Vir, kenalin ini Luna. Lun, kenalin ini Vira”. Vira mengulurkan tangannya sambil tersenyum. “Senang kenalan sama kamu”, ucap Luna. “Udah berapa lama jadian?”, sambungnya. Aku sempat memandang wajah Vira yang kini berubah ekspresi dari ramah menjadi kaget dan bingung. “Baru 3 bulan”, jawabku, karena aku tau Vira takkan menjawabnya. “Kalo begitu selesai sudah penantianku”, Luna menghela nafas kecewa. “Selamat ya. Semoga kalian langgeng”, katanya mencoba tersenyum. Vira hanya terdiam. Aku jadi serba salah. “Aku duluan ya. Masih ada perlu”, pamit Luna. Aku mengangguk. Tidak lama setelah punggung Luna tidak terlihat, Vira akhirnya membuka mulutnya. “Makasih ya, Rik. Aku pulang dulu”, dari nadanya terdengar kalo dia marah. Dan aku yang telah menyebabkannya. Aku nggak mau bikin keributan di dalam toko buku.ini dengan berteriak memanggil namanya. Makanya aku mengikutinya sampai depan. “Vir, dengerin alasanku dulu”, kataku sambil meraih lengannya. “OK, aku dengerin alasan kamu kalo itu masuk akal”, katanya. Tapi ia tetap tak mau menatap mataku. “Vir, aku bener-bener minta maaf. Waktu Luna nyapa aku, yang ada dipikiranku cuma ide itu. Dan kamu satu-satunya yang bisa nolong aku”, aku memberi alasan. “Tapi kamu tau kan kalo aku nggak setuju dengan ide itu. Dan kamu juga tau apa alasannya. Sori, Rik, mungkin sikapku terlalu berlebihan”, ucap Vira sambil memandang mataku lekat-lekat, tapi kemudian pandangannya beralih kembali. “Kamu udah ngejelasin dan aku udah denger. Sekarang biarin aku pulang”. Vira menarik lengannya. Sejenak aku terdiam. Apa aku harus mengatakan yang sebenarnya, pikirku. Ah…aku tidak mau membiarkan dia pergi lagi. “Vira…aku cinta kamu. Itu alasan sebenarnya”, kataku setengah berteriak agar Vira yang berjarak 5 langkah dariku, bisa mendengar jelas kalimatku. Aku tak tau maksudku tersampaikan atau tidak, dia terus pergi sampai hilang dari batas pandanganku.
            Setelah kejadian itu, dia tidak pernah menyapaku. Hingga 3 hari setelahnya, aku berpikir, aku harus minta maaf padanya, untuk itu aku menulis pesan yang berisi permohonan maafku untuknya.
            Aku bergegas pergi ke rumahnya, dengan membawa pesan yang kutulis. Ternyata, baru saja Vira meninggalkan rumahnya. Aku segera mengejar mobilnya. Akhirnya mobilnya tersusul, aku mensejajarkan motorku dan mobilnya, memberikan isyarat agar mobilnya berhenti.
Tin…!Tin…!Tin…!
Entah mengapa aku tak mendengar suara klakson truk yang berada di depanku.
“Rik, menyingkir dari situ !” Vira berteriak padaku, tapi aku tak medengarkannya.
…Brakkkk…!
Itulah akhir dari hidupku, pergi dengan mata tertutup dan tubuh penuh dengan darah. Pergi tanpa berhasil mengucapkan maaf untuknya.
Tapi pesanku sampai padanya, namun kertas putih tertutup percikan tinta merah dari setiap sel-sel darah merah yang keluar dari tubuhku. Vira tak dapat membacanya.
“Selamat Tinggal, aku sudah memaafkanmu” kata itu membuatku tenang meninggalkannya, membiarkannya bahagia...

Created By : GAP

0 komentar:

Posting Komentar