Selasa, 24 April 2012

Letter

Aku akan selalu merindukannya. Semua tentang dirinya. Tentang bagaimana ia meyakinkan aku lewat sinar bola matanya yang cerah dan menampakkan ketegasan. Tentang bagaimana ia memaparkan semua mimpi-mimpinya lewat bibir mungil yang selalu menebarkan liukan senyum yang indah.  Tentang bagaimana ia mendengarkan semua keluh kesahku dan menyeretku ke dunia yang tak pernah aku kunjungi sebelumnya.
Rambutnya yang panjang dan hitam berkilau. Matanya yang bulat dan bersinar bagai batu rubi yang tersiram sinar matahari. Kulitnya yang putih bersih bagai pualam. Suaranya yang menyejukkan bak semilir angin malam yang berhembus di siang bolong. Aku sungguh tak dapat melupakannya.
Aku masih ingat ia sering mengajakku duduk di halaman belakang sekolah. Sebuah tempat sakral yang jarang sekali dikunjungi siswa lain selain kami berdua. Sebuah tempat dimana ia sering mengutarakan segala keinginannya padaku.
“Lo pengen jadi apa setelah lulus nanti?” tanyanya sambil terus melahap Souffle Apricot Almond yang dibawanya dari rumah.
Aku terdiam. Sejujurnya aku tak pernah memikirkan itu. “Entah.”
“Entah? Lo pelajar putih abu-abu semester akhir dan lo nggak tau mau pergi kemana setelah ini?”
“Gua nggak pernah berpikir untuk melanjutkan kuliah. Bokap gua cuma buruh kontruksi dan nyokap gua cuma buruh cuci yang jualan kue di waktu senggang. Gua harus jadi apa?”
“Ya lo harus jadi bos dari sebuah perusahaan kontruksi atau jadi pengusaha kue terkenal!” serunya.
Aku menatapnya tak percaya. Apa yang ada di pikiran gadis ini sebenarnya?
“Gua tau lo punya latar belakang ekonomi yang buruk. Tapi, coba liat diri lo. Lo itu pintar Surya! Lo bisa ambil beasiswa bahkan mungkin beasiswa keluar negeri?”
“Itu berlebihan.”
“Nggak ada yang berlebihan. Bob Sadino dulunya jualan kue keliling kampung, tapi sekarang justru orang-orang kampung itu memuji namanya.” Gadis disampingku ini menyuap lagi Souffle-nya. “Lo cuma butuh tekad dan rasa percaya diri kok,” tambahnya.
Aku terdiam mencerna kata-katanya. Dan aku menyadari, semua perkataannya benar.
Setelah hari itu, aku jarang lagi bertemu dengannya. Waktu ujian yang semakin dekat membuatnya harus sering mengambil waktu pelajaran tambahan di tempat bimbingan belajarnya atau mengambil waktu untuk privat. Pertemuan kami jadi hanya sebatas bercakap-cakap di depan pintu kelas atau saling menyapa saat bertemu di koridor sekolah.
Aku sendiri bertekad untuk membuatnya bangga padaku. Aku belajar lebih keras setiap malam. Mengambil jadwal belajar tambahan dengan mengadakan belajar kelompok bersama teman-temanku, hingga merogoh uang tabunganku untuk membeli suplemen vitamin penambah daya ingat.
Untungnya, usahaku tidak sia-sia. Ujian berlangsung kemudian, dan hasil yang aku dapat cukup memuaskan. Paling tidak, aku berada di antara daftar 2o anak dengan nilai terbaik satu sekolah. Kulihat namanya berada jauh di atasku. Ia berhasil meraih peringkat lima. Luar biasa.
Tekadku untuk membuatnya bangga padaku tak berhenti sampai disitu. Ku ikuti lagi beberapa tes beasiswa baik dalam maupun luar negeri. Meski masih tak jelas akan memilih jurusan apa, paling tidak aku harus mendapatkan beasiswa itu.
Esoknya, aku berniat untuk bertandang kerumahnya. Sudah hampir dua bulan sibuk dengan kegiatan masing-masing, aku jadi benar-benar melupakannya dan baru menyadari kalau aku begitu merindukannya. Dengan baju terbaik yang aku miliki, dan sekotak coklat ukuran kecil, ku tekan bel bel   pintu rumahnya dan seorang wanita paruh baya dengan kebaya coklat mendatangiku sambil tergopoh-gopoh. Dia Bi Sumi. Pembantu disana.
“Cari non Chiara ya?” tanyanya sudah mengenaliku.
Aku mengangguk. “Chiaranya ada?”
“Wah maaf nak Surya. Non Chiara nya lagi dirawat di rumah sakit. Nak Surya nggak tau?”
“Rumah sakit?” aku mengulangi.
Bi Sumi mengangguk. “Non Chiara kena kanker otak, nak Surya. Sudah seminggu ini katanya Bapak sama Ibu belum keluar dari ICU. Keadaannya lagi kritris.”
Deg. Kalimat terakhir yang di ucapkan Bi Sumi dengan cepat menusuk dadaku. Tenggorokanku terasa tercekat. Jantungku berdegup kencang dan nafasku naik turun tak beraturan. Ku jatuhkan kotak coklat itu di lantai dan dengan cepat ku berlari menuju rumah sakit. Menuju ruang ICU.
Disana, aku berhasil menemui Tante Ida. Wajah wanita paruh baya itu nampak tirus dan pucat. Di bawah bola matanya terdapat kantung yang tebal dan sembab. Ia pasti terus menangis semalaman. Sementara Oom Anwar, baru keluar dari dalam ruangan ketika aku tiba. Ia mengenaliku.
“Surya?” tanyanya memastikan.<span class="fullpost">
Aku berjalan menghampiri mereka. “Chiara kenapa Oom, Tante?” tanyaku tanpa basa-basi.
Oom Anwar menatap istrinya. “Begini Surya. Chiara, divonis menderita kanker otak stadium akhir.”
“Stadium akhir?”
Oom Anwar mengangguk. “Kemungkinan terburuk yang akan ia dapatkan adalah, hidupnya mungkin hanya dua bulan lagi.”
Lagi-lagi kalimat terakhir itu menohok jantungku. Badanku terasa lemas dan aku merasa kepalaku begitu berat. Perutku terasa mual dan ingin rasanya aku meninju sesuatu sekarang. Ku intip sosok Chiara yang terbaring lemah dari jendela kaca pintu. Ku tarik nafas dalam-dalam dan ku buka pintu ruang ICU perlahan.
Seketika, suasana dingin yang dipenuhi bau alkohol menyambutku. Aku benci suasana ini. Begitu menegangkan dan mencekam. Seakan-akan aku merupakan satu-satunya orang yang hidup di dalam rumah seorang zombie.
Ku langkahkan kakiku mendekati ranjang. Dan barulah terlihat jelas wajah Chiara yang tengah memakai tabung oksigen. Di sampingnya, ada monitor pemancar denyut jantung yang bunyi ‘bip-bip’ nya bagaikan bunyi suara gaungan singa yang kelaparan dan kau akan merasa ketakutan bila berada di dekatnya. Beberapa kabel lain terhubung ke dadanya. Selang infus mengalir menuju nadi kanannya. Dan senyumnya… ya Tuhan, bahkan disaat seperti ini senyum itu pun tak hilang dari wajah cantiknya.
“Chiara,” panggilku lirih. “Ini gua Surya. Betapa bodohnya gua memperkenalkan diri gua sendiri ke elo padahal gua yakin lo mengenali suara gua.” Aku tertawa kecil. Tanganku menggenggam erat tangan Chiara.
“Ra, dulu lo pernah nanya ke gua tentang apa yang bakal gua lakuin sehabis gua keluar dari sekolah kan?” aku menatap wajahnya. “Sekarang, gua tau apa yang bakal gua lakuin, Ra. Gua… pengen jadi seorang dokter. Gua pengen ngobatin orang yang sakit terutama elo. Gua pengen ngeliat lo sembuh. Gua nggak mau ngeliat lo begini. Gua mau ngeliat senyum lo lagi. Kalau gua jadi dokter nanti, gua janji gua bakal ngobatin lo dan ngerawat lo sampai sembuh.” Aku menelan ludah. Tak terasa air mata mengalir deras melewati pipiku.
“Ra, gua… gua sayang sama lo, Ra. Gua nggak mau kehilangan lo. Gua nggak suka ngeliat lo begini. Lo harus bangun, Ra!” seruku kesal. Kesal karena Chiara sepertinya tak mendengar semua ucapanku, kesal karena Tuhan membiarkan gadis seperti Chiara harus berjuang melawan penyakitnya.
Aku menunduk. Genggaman tanganku semakin erat pada tangan Chiara. Dan tak lama, kuarasakan ada yang bergerak. Tangan Chiara! Tangan Chiara bergerak untuk membalas genggamanku.
Aku mengangkat lagi kepalaku. Ku lihat Chiara perlahan membuka matanya. Pelan-pelan, dan dia menatapku. Senyumnya mengembang dan sinar matanya yang cerah kembali menghiasi wajahnya yang pucat.
Aku menghapus air mataku. “Hai, Ra,” sapaku berusaha tegar.
“Hai, Sur…ya,” jawabnya terbata. “Gua… dengar semua…nya. Tentang… mimpi lo,” tambahnya pelan.
Aku mengangguk. “Gua mau jadi dokter, Ra. Gua mau nyembuhin lo. Tolong, sampai waktu itu datang, lo harus bertahan buat gua.”
Chiara mengangguk. “Gua… menunggu, Surya. Gua... menunggu,” katanya sambil setengah terpejam.
Aku terdiam. Lagi-lagi air mataku mengalir. Aku sadar, Chiara baru pulih. Tak seharusnya aku mengajaknya berbicara seemosional ini. Aku harus membiarkannya beristirahat.
Setelah hari itu, ku dengar keadaan Chiara jauh lebih baik. Ia sudah dipindahkan ke ruang rawat inap dan para dokter berkata kalau ini merupakan mukjizat. Tapi meski begitu, tubuh Chiara menjadi sangat kurus setiap harinya. Ia tidak nafsu makan dan sering terjaga tiap malam.
“Lo harus makan, Ra,” suruhku di satu waktu.
“Nggak mau.” Chiara menggeleng. “Lo bilang gua jelek kalo lagi gendut, sekarang gua mau kurus.” Ia terkekeh kemudian. Tawanya memang tak pernah hilang sepanjang waktu. Begitu juga senyumnya yang selalu mengembang setiap harinya. Membuatku yakin kalau Chiara akan baik-baik saja.
Acara perpisahan tiba. Sekaligus hari dimana akan diumumkannya hasil dari tes beasiswa yang telah dilaksanakan oleh beberapa instansi sekolah. Aku sudah persiapkan diri untuk hasil yang terburuk. Biar bagaimanapun, aku sudah berusaha maksimal.
Chiara tidak hadir dalam acara itu. Dokter melarangnya ikut dengan alasan ia masih belum cukup kuat untuk duduk berlama-lama di dalam ruangan. Aku datang bersama ibuku pagi itu. Dengan kemeja lungsuran dari ayah yang biasa digunakannya untuk melamar pekerjaan dulu, serta sepatu dan jas hitam hasil pinjaman dari majikan ibu, aku duduk di ruangan itu dengan perasaan tidak karuan.
Ibu bilang, aku bisa lulus saja sudah merupakan anugrah yang terindah untuknya yang hanya lulusan sekolah dasar. Tapi aku ingin lebih dari itu. aku ingin mendapatkan beasiswa itu meski aku tak benar-benar yakin pada diriku sendiri.
Acara dimulai. Begitu membosankan. Sejak awal hingga akhir acara yang ada hanyalah sambutan. Entah dari kepala sekolah, wakil kesiswaan, beberapa guru bidang studi, atau pidato anak-anak yang memiliki nilai terbaik satu sekolah. Kalaupun ada pertunjukkan, hanya sebuah pertunjukkan kecil yang dimainkan oleh anak-anak kelas 10  dan 11 yang bahkan tak aku kenali siapa mereka. Sampai akhirnya, salah seorang guru BP naik ke atas podium dan mengatakan kalau beliau akan menyebutkan nama anak yang akan mendapatkan beasiswa.
“Hanya ada tiga orang,” katanya dari microphone. “Yang pertama saya panggil, Maura Arinadya dari kelas 12 Bahasa-1”
Seketika ruangan berubah meriah. Kata ‘selamat’ terdengar riuh mengiringi langkah kaki seorang gadis dengan balutan kebaya hijau menuju ke atas panggung. Ia tak henti mengumbar senyum.
“Yang kedua, dari 12 IPS-3, Bagus Andrea.”
Lagi-lagi ruangan terdengar riuh. Bagus berjalan dengan mantap menuju ke atas panggung setelah sebelumnya ia sempat menyalami tangan ibunya.
“Dan yang terakhir, dari 12 IPA-1.” Si guru menghentikan kata-katanya sejenak. “Surya Kurniawan.”
Dapat kurasakan jantungku lepas dari tempatnya sekarang. Mulutku menganga dan aku begitu senang sampai tak tau apa yang harus aku lakukan. Beberapa temanku menepuk pundakku dari belakang, memberi selamat. Ibuku menatapku bangga. Aku bangkit dari tempat dudukku dan perlahan berjalan menuju panggung. Tepuk tangan masih menggema dan dapat aku dengar riuh suara teman-teman sekelasku meneriaki namaku.
Kepala sekolah maju kemudian. Menyerahkan piagam, trophy, dan juga tanda bukti berupa cek yang bisa aku cairkan setelah aku masuk ke perguruan tinggi negeri. Aku begitu bahagia. Kata-kata Chiara akirnya jadi kenyataan.
Sepulang dari acara, aku langsung berlari menuju rumah sakit. Dan langkah kakiku terhenti ketika melihat ranjang Chiara telah bersih. Aku bertanya pada suster yang berada disana dan mereka mengatakan kalau Chiara sudah pulang beberapa menit yang lalu. Ini hebat. Aku mendapatkan beasiswa dan Chiara akhirnya diizinkan pulang. Aku harus merayakannya.
Rumah Chiara begitu ramai ketika aku tiba. Belasan mobil terparkir memenuhi pelataran hingga ke jalan disekitarnya. Beberapa orang dengan pakaian hitam berlalu lalang. Bendera kuning melambai tepat didepan rumah berlantai dua itu. Aku terpaku. Ada apa ini sebenarnya?
Ku terobos kerumunan pengunjung yang menyemut di halaman, ku langkahkan kakiku menuju ruang tamu tanpa permisi. Dan disana, di bagian tengah ruangan itu, kulihat Tante Ida tengah menangis di depan tubuh seseorang yang tengah tertidur lelap dalam balutan kain batik. Di belakangnya, Oom Anwar menenangkan. Sesekali memeluk istrinya penuh kasih.
Aku melangkah mendekat. Piagam dan trophy masih berada di tanganku. Dengan tangan gemetar, ku singkap kain penutup wajah orang yang tengah tertidur itu. Dan seketika itu, aku terkesiap. Ia Chiara. Orang yang tengah tertidur itu Chiara.
Wajah gadis itu nampak tirus namun tenang dalam tidur panjangnya. Kulitnya yang putih bersih, nampak lebih pucat sekarang. Satu hal yang tak berubah. Senyum itu. Senyum yang selalu membangkitkan segala rasa optimis dan keyakinan dalam diri siapa saja yang melihatnya. Senyum yang selalu jadi pelengkap kecantikannya. Senyum itu, meski kali ini nampak begitu kaku, namun tetap terlihat tegas dan manis. Senyum itu, aku akan selalu merindukannya.
Bahkan hingga saat ini. Ketika aku telah mengganti seragam putih abu-abuku dengan jas putih dan stetoskop yang menggantung di leherku. Ketika aku sudah mampu mengobati orang lain dengan kanker otak yang bersarang ditubuh mereka. Ketika aku duduk disini, di depan pusaranya. Di depan pahatan indah bertuliskan nama ‘Chiara Hakim.’
Terima kasih, Chiara. Karena sudah mengizinkanku melihat mata paling cerah yang tak pernah dimiliki siapapun. Karena sudah mau memperlihatkan senyuman paling indah yang tak pernah dimiliki siapapun. Karena sudah mau mengajarkanku untuk menjadi orang yang optimis dalam menjalani hidup ini. Semua ini, untukmu Chiara. Pengabdianku, untuk menghilangkan rasa penyesalanku karena tak berhasil menyelamatkan hidupmu. Terima kasih Chiara, untuk pernah menjadi sahabatku. Aku akan selalu merindukanmu.

Salam sahabatmu, Dr. Surya Kurniawan.

Created By : SAS
</span>
»» READ MORE..

Minggu, 22 April 2012

Maaf


Suasana sekolah jam-jam segini memang lumayan sepi, karena memang jam pelajaran sudah selesai. Tinggal Aku dan Vira yang masih setia duduk-duduk di taman sekedar menunggu matahari agak turun ke barat. “Vir, aku boleh minta tolong nggak?”, tanyaku setengah memelas. “Minta tolong apaan?”, jawab Vira masih serius dengan komik ditangannya. “Kamu masih inget Luna kan? Mantanku yang sekarang pengen banget baikkan sama aku?” “Hem,,,trus?” “Dia nggak bakalan nyerah bikin aku nerima dia lagi” “Terus” “Aku tuh risih banget sama sikap dia akhir-akhir ini. Dia tuh kayak satpam aku aja. Segala urusanku dia tau” “Terus?” “Dia bakalan bener-bener mundur kalo aku udah punya cewek dan dia harus tau siapa cewek itu” “Terus?” “Kok terus-terus sih. Sebenernya kamu dengerin ceritaku nggak sih”. Akhirnya Vira menutup komiknya. “Iya aku dengerin. Sekarang kamu maunya apa?” “Aku mau minta tolong kamu. Aku mau kamu pura-pura jadi cewekku. Terus aku kenalin ke Luna. Dengan begitu Luna nggak akan ganggu aku lagi” “Apa !!!”, Vira kaget mendengarnya. “Nggak usah screaming gitu napa sih? Biasa aja lagi” “Emang nggak ada ide laen”. Aku menggeleng. “Kenapa sih mesti aku? Gimana kalo Putri aja. Dia kan cantik, tinggi, pinter. Serasi banget deh sama kamu. Lagian kamu kan juga akrab sama dia. Jadi kalo ngomong masih nyambung” “Nggak bisa, Vir.  Kalo kamu kan udah tau ceritanya dari awal. Jadi kalo ada apa-apa paling nggak kamu bisa mengantisipasi”, aku terus memberi alasan. “Sori, Rik, tapi aku nggak bisa” “Kenapa, Vir? Masa kamu nggak mau nolongin sahabat kamu sih?” “Bukannya nggak mau , Rik. Tapi nggak bisa” “Terus alasannya apa?” “Aku nggak bisa nanggung resikonya. Kamu yakin, kalo Luna tau kamu udah punya cewek, dia akan ngejauhin kamu? Kalo dia kirim intel buat mata-matain kamu gimana? Terus kalo dia tahu ini cuma bo’ongan gimana?”. Kami terdiam sejenak. “Ya udah kalo kamu nggak mau nolongin aku”, kataku agak kecewa. “Idih di bilang nggak bisa, bukannya nggak mau” “Ye,,,sama aja kan?” “Nggak sama lagi” “Whatever lah. Mau pulang bareng nggak? Udah nggak panas nih”. Vira mengangguk kemudian mengikuti langkahku.
            Sudah 3 hari semenjak kejadian di sekolah sore itu, aku dan Vira tidak pernah membahasnya lagi. Aku dan Vira sudah bersahabat sejak 1,5 tahun yang lalu. Tepatnya setelah kami masuk SMA yang sama. Vira adalah orang kepercayaanku. Aku selalu menceritakan apa yang ku alami padanya. Dan Vira selalu memberi solusi bagi masalahku atau hanya sekedar pendengar setia cerita-ceritaku. Termasuk cerita Luna, mantan pacarku. Tapi satu hal yang selalu jadi pertanyaanku, Vira jarang sekali bercerita panjang lebar padaku. Dan Aku pun tak pernah bertanya padanya. Aku takut menyinggung persaannya. Aku pikir biar Vira sendiri yang nantinya cerita padaku. Tapi lama kelamaan aku penasaran juga pada sikapnya itu. Apalagi sejak ada 2 cowok beda jurusan yang terang-terangan nembak dia. Dengan cueknya dia menolak cowok-cowok itu. Hingga suatu hari… “Vir, aku mau tanya boleh nggak?” “Ya”, jawab vira sambil terus membaca novel di tangannya. “Kalo boleh tau alasan kamu nolak Mikki sama Agung apaan sih? Padahal banyak cewek yang ngefans sama Mikki. Eh, malah kamu tolak. Kamu tuh aneh. Jangan-jangan kamu lesbian ya”, Godaku. “Hus,,, ngawur. Aku masih normal lagi. Pengen tau kenapa? Soalnya kalo aku punya cowok, terus yang nemenin kamu siapa? Aku kan orangnya setia kawan”, Vira tertawa. “Sialan, aku serius nih” “Aku juga serius”. Vira nggak mau ngalah. “Nyerah deh ngomong sama kamu”. Vira cuma tertawa mendengarnya. “Ternyata manis juga cewek di sampingku ini”, kataku dalam hati. Deg,,, tiba-tiba seperti ada persaan aneh di hatiku. Sampai di rumah aku terus memikirkan ada apa sebenarnya dengan Vira. Kenapa dia begitu anti dengan cowok. Apa dia sudah punya pacar. Tapi aku nggak pernah sekalipun melihatnya jalan dengan cowok. Di dompet ataupun bukunya tidak pernah ada foto cowok ataupun nama seseorang. Kalaupun dia trauma karena pernah disakiti oleh cowok, dia nggak pernah menunjukkan gejala-gejala seperti itu. “Vira, kamu sahabatku yang penuh misteri”, kataku. Tiba-tiba aku berpikir, “Selama ini aku adalah cowok yang paling beruntung karena aku paling dekat dengan Vira”.
            Keesokan harinya,,, “Vir, anterin aku ke toko buku yok !”, ajakku. “Tumben kamu ke toko buku, Rik. Nggak salah alamat?” “Entar pulangnya aku traktir deh” “Tawaran yang bagus tuh, ayok deh” “Duh, senengnya kalo denger traktiran”. Vira tertawa. “Ternyata dia memang manis. Aduh, aku kenapa lagi?”, ungkapku dalam hati. Sedang enak-enaknya memilih buku tiba-tiba ada yang menepuk pundakku. “Hei, Rik. Senengnya bisa ketemu kamu di sini”. Aku cuma tersenyum kecut begitu tau siapa yang menyapaku. “Eh, Luna” “Kamu sama siapa, Rik?”, tanyanya. Aku langsung teringat Vira. Spontan aku menjawab, “Cewekku. Tuh dia di sana”. Telunjukku mengarah pada rak tempat novel-novel. Sejenak aku melihat raut muka kecewa pada wajah Luna. Tapi kemudian dia kembali tersenyum. “Kenalin dong”, ajaknya. Tidak berapa lama kami sudah sampai di tempat Vira sedang membaca novel. Aku memegang pundaknya kemudian ia tersenyum. “Vir, kenalin ini Luna. Lun, kenalin ini Vira”. Vira mengulurkan tangannya sambil tersenyum. “Senang kenalan sama kamu”, ucap Luna. “Udah berapa lama jadian?”, sambungnya. Aku sempat memandang wajah Vira yang kini berubah ekspresi dari ramah menjadi kaget dan bingung. “Baru 3 bulan”, jawabku, karena aku tau Vira takkan menjawabnya. “Kalo begitu selesai sudah penantianku”, Luna menghela nafas kecewa. “Selamat ya. Semoga kalian langgeng”, katanya mencoba tersenyum. Vira hanya terdiam. Aku jadi serba salah. “Aku duluan ya. Masih ada perlu”, pamit Luna. Aku mengangguk. Tidak lama setelah punggung Luna tidak terlihat, Vira akhirnya membuka mulutnya. “Makasih ya, Rik. Aku pulang dulu”, dari nadanya terdengar kalo dia marah. Dan aku yang telah menyebabkannya. Aku nggak mau bikin keributan di dalam toko buku.ini dengan berteriak memanggil namanya. Makanya aku mengikutinya sampai depan. “Vir, dengerin alasanku dulu”, kataku sambil meraih lengannya. “OK, aku dengerin alasan kamu kalo itu masuk akal”, katanya. Tapi ia tetap tak mau menatap mataku. “Vir, aku bener-bener minta maaf. Waktu Luna nyapa aku, yang ada dipikiranku cuma ide itu. Dan kamu satu-satunya yang bisa nolong aku”, aku memberi alasan. “Tapi kamu tau kan kalo aku nggak setuju dengan ide itu. Dan kamu juga tau apa alasannya. Sori, Rik, mungkin sikapku terlalu berlebihan”, ucap Vira sambil memandang mataku lekat-lekat, tapi kemudian pandangannya beralih kembali. “Kamu udah ngejelasin dan aku udah denger. Sekarang biarin aku pulang”. Vira menarik lengannya. Sejenak aku terdiam. Apa aku harus mengatakan yang sebenarnya, pikirku. Ah…aku tidak mau membiarkan dia pergi lagi. “Vira…aku cinta kamu. Itu alasan sebenarnya”, kataku setengah berteriak agar Vira yang berjarak 5 langkah dariku, bisa mendengar jelas kalimatku. Aku tak tau maksudku tersampaikan atau tidak, dia terus pergi sampai hilang dari batas pandanganku.
            Setelah kejadian itu, dia tidak pernah menyapaku. Hingga 3 hari setelahnya, aku berpikir, aku harus minta maaf padanya, untuk itu aku menulis pesan yang berisi permohonan maafku untuknya.
            Aku bergegas pergi ke rumahnya, dengan membawa pesan yang kutulis. Ternyata, baru saja Vira meninggalkan rumahnya. Aku segera mengejar mobilnya. Akhirnya mobilnya tersusul, aku mensejajarkan motorku dan mobilnya, memberikan isyarat agar mobilnya berhenti.
Tin…!Tin…!Tin…!
Entah mengapa aku tak mendengar suara klakson truk yang berada di depanku.
“Rik, menyingkir dari situ !” Vira berteriak padaku, tapi aku tak medengarkannya.
…Brakkkk…!
Itulah akhir dari hidupku, pergi dengan mata tertutup dan tubuh penuh dengan darah. Pergi tanpa berhasil mengucapkan maaf untuknya.
Tapi pesanku sampai padanya, namun kertas putih tertutup percikan tinta merah dari setiap sel-sel darah merah yang keluar dari tubuhku. Vira tak dapat membacanya.
“Selamat Tinggal, aku sudah memaafkanmu” kata itu membuatku tenang meninggalkannya, membiarkannya bahagia...

Created By : GAP
»» READ MORE..

PHP (judul yg suram)

Suasana kelas yang riuh dan tak ada guru pun dijadikan murid-murid bebas melakukan apa saja. Aku yang sedang mendengarkan musik merasa terusik karena ada yang memanggilku.
“hei han.”dia tersenyum tersipu padaku.
“hah? Kenapa sha?”
“eh gapapa,Cuma tes kuping.hehe..”dia tersipu lagi.
“hoah, whatever..”aku mendengus kesal.

Ini orang maunya apa sih? Sudah 3 kali marsha memanggilku seperti itu, dan dibuat kesal karenanya. Coba kalau bukan teman sekelasku, sudah babak belur dia. Weits, gini-gini aku punya prestasi dalam kejuaraan taekwondo. Ngomong-ngomong soal marsha, dia itu cowok. Dan kerjanya suka isengin orang-orang. Orangnya yang pendiam tapi menghanyutkan, begitu kata sahabatnya, dan membuat aku penasaran kepadanya.
Malam yang dingin semakin membuatku malas untuk bergerak alias mager. Drrt drrrt, ada sms masuk. Dari marsha.
“hei han, lagi apa?”
“lagi mager.”jawabku singkat.
“ih balesnya singkat aja, lagi males ya?”ah pertanyaan yang bodoh, pikirku.
“udah tau mager masih nanya, bego.”

5 menit, 10 menit tidak ada balasan. Aku semakin penasaran, apa dia marah ya? Ah terserah lah, mendingan aku tidur.
Sabtu pagi yang sejuk, dan sinar matahari yang cerah membuatku semangat pergi ke sekolah untuk pendalaman materi. Ya, sekarang aku sudah kelas 3, tepatnya SMA. Dan sebentar lagi akan berhijrah ke dunia perkuliahan, dan bla bla bla.
Jam menunjukkan pukul 8 dan baru beberapa murid yang masuk ke kelas, dan kulihat sekeliling kelas. Dikelas ini tidak ada perbedaan. Semuanya sama. Hmm, di pojok sana ada si marsha yang sedang melamun, apa dia kesambet setan ya?
“woy, bengong aja lo?”sambil memukul meja dan dia tersentak kaget.
“buset, biasa aja kali han jantung gue mau copot nih!”dia geram.
“sorry sorry. Eh kemaren kenapa sms gue ga dibales? Lo marah ya gue katain?”
“ih pengen banget apa?”sambil tersenyum sinis kepadaku.
“nah buktinya kenapa lo sms gue semalem?”pancingku agar dia menjawab.
3 detik, dia tidak menjawab. Hanya membalas dengan senyuman. Ah iseng lagi nih, pikirku. semakin membuatku penasaran dan akan mencari tau secepat mungkin.

Wabah php merajalela di kalangan remaja saat ini – via twitter
Ah, php? Apaan tuh? Setauku itu sih bahasa program dalam suatu sistem operasi. Penasaran dan kutanya pada teman sebangkuku, yana.
“eh yan, php apaan sih?”kutanya polos.
“lah, lo gatau han?”setengah menganga tak percaya.
“ya gataulah, gue kan jarang online twitter.”
“hani..hani. ga sampe begitu juga kali sampe ga uptodate, nih gue jelasin ya. PHP itu kepanjangan dari Pemberi Harapan Palsu.”
“oooh, maksudnya apaan deh, tetep ga ngerti”aku yang bingung hanya menyengir saja.
“arrrg, belom juga selesai gue ngomong.”yana melanjutkan,”php itu diibaratkan cowo yang suka ngasih harapan ke cewek atau kebalikannya, tapi ternyata itu cuma bohong, alias palsu! Ngerti kan?”
“oalaah! Bisa sampe begitu ya?”
“yaiyalah. Lo sih, jarang online. Kalau gak latihan, ya latihan terus.ckckck”
“hahaha, namanya juga hani, mana sempat urusin begitu.”
“hah, whatever you want.honey.. “
Sepulang sekolah, dikamar yang suntuk ini aku pun mengingat kata-kata yang diucapkan yana tadi. Php? Ko bisa ada yah? Jadi penasaran gimana rasanya..semakin dipikirkan semakin membuatku lelah..dan akupun tertidur pulas.
Do you remember..do you remember..all of the times we had?
Nada ponselku berbunyi membuat ku terbangun.  siapa nih. Marsha. Cepat-cepat kutekan tombol hijau, mungkin ada perlu.
“hoaam, halo?”setengah nyawaku belum terkumpul.
Nit nit nit, telepon terputus. Shi*. Cuma misscall, penasaran. Aku coba sms orang iseng itu.
“woy, kenapa lo miscall?”
5 menit baru di balasnya. “emang aku misscall ya?” wait, kok pake ‘aku’ ? semakin aneh.
“iya tadi, emang gue bolot apa?”
“ih kok kamu gitu sih? Lagi apa sayang?”

Hih, apalagi nih? Pake sayang sayang segala. Mencurigakan. Sengaja aku tak membalasnya karena ada sesuatu yang aneh pada marsha. Biasanya dia yang pendiam dan jarang berbicara dikelas itu tiba-tiba mengirimkan sms seperti itu. Besoknya disekolah, aku juga menemukan hal yang aneh. Dia sekarang sering mengobrol denganku dan dengan sangat sopan menyapaku. Aku balas serupa, mulai ada rasa dengannya. Semakin lama semakin dalam... perasaan aneh ini aku ceritakan ke yana, dan diapun tesentak kaget.
“hah! Yang bener lo han?dia itu seleranya tinggi tau!ckck.”
“masa sih?orangnya juga tinggi..”aku menghayal sampai tersenyum sendiri.
“eh bangun neng! Jangan terlalu berharap gitu nanti kecewa aja pelampiasannya ke gue lagi, hih serem.”
“tenang aja hehe, doain ya semoga gue jadian sama dia, hehe..”aku mengamini dalam hati.
“dasar gila, baru cowo kaya dia aja udah klepek2, gimana kalo liat brad pitt asli, pingsan langsung lo!” yana yang tergila-gila pada brad pitt pun tak mau kalah.
“tau ah, i don’t care..”
3 hari, 7 hari, seminggu aku menunggunya untuk sms. Tapi nihil, mungkin dia sibuk. Aku mencoba untuk positif thingking. Walaaaa! Akhirnya dia sms juga. Singkat aja.
“han”
Perasaan ku tak terbendung lagi, senang rasanya. “eh kenapa sha?”
“gpp, lagi ngapain?”
Sms berlanjut sampai tengah malam, sampai dia tak membalas sms lagi. Dan akupun memutuskan untuk tidur saja. Ada perasaan senang sekaligus.. apa ini cinta ya? Arrrrg kata orang-orang di twitter, aku galau..

20 maret 2012, ulang tahun marsha. Semua anak-anak dikelas ingin membuat surprise untuknya. Tapi aku?hanya mengikuti mereka sajalah, toh aku bukan siapa-siapanya dia. Hei,bukannya aku suka sama marsha? Tapi kok ada sesuatu yang mengganjal ya?
Sehari setelah ulang tahunnya marsha, dia tak lagi sms ataupun telepon. Jangan-jangan..
“yanaaaaaaaa...”kataku sambil terpogoh-pogoh.
“kenapa han? Muka lo serem begitu? Awas kalo tiba2 ninju gue.”
Aku menceritakan semuanya dan dia pun berdecak pinggang,
“kayanya marsha udah php  in lo deh,gimana perasaan lo sekarang?”
“ya begitu, ada seneng, deg2an, benci semuanya deh.”
“saran gue ya, lupain dia oke?”
“menurut lo begitu ya yan?”
“iyalah, dia gak serius sama lo. Pasti Cuma phpin lo doang, ish cowo apaan tuh.”
“hmm okedeh. Untung sekelas, kalo ga..”tanganku sudah mengepal ingin menghantam sesuatu.
“eits, jangan didepan gue juga dong, han.”yana ketakutan sampai mukanya lemas.
“sorry..”

Seminggupun aku sudah bisa melupakannya, dan kufokuskan UN dulu. Seminggu menjelang UN, marsha tak kelihatan lagi kabarnya. Walaupun sekelas, dia juga  jarang mengobrol dan menyapaku lagi. Persetan orang itu. Dan salah satu temanku dikelas, Grace, juga mengalami hal yang sama. Yaitu diphpin, siapa sih orang yang tega? Ingin ku hajar sampai babak belur.
“hei grace.”sapaku.
“hei.”jawabnya lemas.
“lah lo kenapa lemes banget sih? Gausah dipikirin gitu lah. Siapa sih orangnya? Kasih tau ke gue.”
“ssst. Jangan bilang siapa-siapa ya, yang tau cuma lo dan gue.”
“”sip, tenang aja.”
“dia.. marsha, han.”
“What the.. marsha!!? Kenapa bisa sama sih?”aku menggeram kesal.
“hmm maksudnya apa han?”tanya grace tak mengerti.
“aduh gawat nih grace. Jadi dia juga udah phpin gue, tapi gue udah lupain dia sih. Cukup tau dia brengse*.”
“arrrrrrrg, bangsa T juga ya dia. Oiya gue masih ada nih smsnya. Lo mau baca?”ditunjukkannya sms itu, dan hampir saja hp grace jatuh dari tanganku. Smsnya sama dengan yang marsha kirim kepadaku.
“graceeeeee, ini sama yang dia kirim ke gue, arrrrrrrg.”
“apa? Serius lo? Kacau.”omongannya semakin ngelantur.
“serius lah grace. Dia masih sms lo gak?”
“masih, tapi ya kadang-kadang. Kalau lagi sms bikin gue makin...hehe”ah kata-katanya semakin ngelantur.
“eh, daripada terus-terusan kaya gini mending kita bales aja. Gimana?”
Aku dan grace yang berada di depan kelas ‘salting’ karena marsha lewat dan hendak masuk ke kelas. Grace langsung berpura-pura memainkan hpnya, sedangkan aku hanya mengepalkan tangan seakan-akan mau meninju sesuatu.
“eh lanjut dong? Gimana?” tangannya gemetaran.
“jadi, kita kan sekelas sama dia, kita sindir atau kita ...”
“eh eh jangan kasian.. lo selalu pake kekerasan ya..”kesalnya, masa bodoh.

Pembicaraan terputus karena bel tanda masuk sudah berbunyi. Terus-terusan aku menatap ke arah marsha yang sedang konsen belajar, tiba-tiba tanpa sengaja dia menoleh kepadaku. Langsung kulemparkan senyum sinis kepadanya, dan dia terheran-heran. Lihat saja nanti.

Sepulang sekolah aku dan grace janjian untuk membalas dendam. Tentunya tanpa grace ketahui, aku ingin menghajarnya biar tau rasa. Yana yang aku ceritakan hanya mengiyakan dan menggeleng2 kepala.
Di parkiran sekolah, aku dan grace langsung mencegatnya. Tanpa basa basi dan tanpa sadar, BUG! aku meninjunya.
“upps, sorry dude.”perasaanku lumayan lega. Tapi..
“HEH, lo kenapa sih! Ninju orang ga ada petir gluduk juga!”sambil idungnya yang hampir berdarah.
“dan satu lagi buat lo, dari grace yang gatau apa-apa”PLAK!satu tamparan di pipi kanan marsha dari grace.
“itu balasan buat orang yang suka mempermainkan cewe! Sekali lagi lo kaya gitu, ga bisa gue maafin, lo kenapa sih! Ninju orang ga ada petir gluduk juga!”sambil idungnya yang hampir berdarah.
“dan satu lagi buat lo, dari grace yang gatau apa-apa”PLAK!satu tamparan di pipi kanan marsha dari grace.
“itu balasan buat orang yang suka mempermainkan cewe! Sekali lagi lo kaya gitu, nih!” hampir saja aku menendang perutnya. Belum mendengar penjelasan dari cowok sialan itu, aku menarik tangan grace dan melesat jauh dari parkiran.

Created By : MH
»» READ MORE..

Sabtu, 21 April 2012

The Best I’ve Ever Had


“Lw pernah punya pacar ngga sih?”. Itulah pertanyaan yang sering ditanyakan Tara, sahabatku. Entah kenapa dia penasaran sekali, berulang kali kujawab ”Ya pernahlah.” tapi tetap saja dia  menanyakan hal itu padaku berulang kali dan akan kujawab dengan jawaban yang sama juga.

”Nanyanya kok gitu terus sih? Ngga punya pertanyaan lain apa? Bosen tau jawabnya juga.” ucapku dengan agak ketus. ”Habis sikap lw ke cewek gitu sih, Bay. Apalagi ke cewek yang suka sama lw, dingin banget. Klo bisa diukur mungkin sikap lw itu suhunya -100 o C kali.” jawab Tara yang kemudian disusul dengan anggukan Dafa. ”Loh? Apa salahnya gw punya sikap kaya gitu? Keberatan?” tanyaku dengan nada suara sedikit sewot. ”Memang sih ngga ada undang-undang yang ngelarang lw untuk punya sikap kaya gitu, tapi setidaknya ubah sedikit lah sikap lw itu. Lw ngga tau kan kalau si Arisa nangis gara-gara lw cuekin akhir-akhir ini?” ujar Dafa dengan lembut. ”Masa sih gw cuekin aja sampe nangis gitu? Berlebihan banget.” tanyaku lagi. ”Jujur aja gw juga kaget, pas dia curhat ke gw tentang sikap dingin lw itu tiba-tiba dia nangis. Tega banget sih lw. Dia tuh sayang banget sama lw, Bay.” jawab Tara dengan galaknya.

Setelah dengar jawaban Tara gw jadi ngerasa bersalah juga, udah bikin cewek yang suka sama gw nangis kaya gitu. ”Sebenernya gw bersikap kaya gitu tuh karena gw malu mau natap wajah dia. Emang bagi dia sikap gw itu jahat banget ya?” ucapku dengan pelan. ”Gimana yah? Kalau alasan lw kaya gitu menurut gw sih ngga jahat-jahat banget.” jawab Dafa.

Bel masuk mengharuskan kami menyudahi perdebatan ini. ”Sebenarnya gw juga merasa kalau sikap gw ini agak sadis, tapi mau gimana lagi? Jujur, gw jadi malu banget ketemu Arisa setelah tahu dari Dafa kalau dia itu suka sama gw, pengennya sih gw bersikap ’stay cool’ seperti biasa, tapi ngga bisa. Gw ngga mau dia ngeliat muka gw ang memerah karena malu, karena itu lebih baik gw menghindari dia daripada jadi bahan tertawaan.” pikirku dalam hati. Gw ngga bisa konsentrasi ke pelajaran, gw hanya visa mikirin Arisa. Gw jadi merasa kalau gw ini lebih jahat daripada segala penjahat kelas berat di dunia. ”Gw harus minta maaf!!” itulah tekad gw dalam hati.

Bel istirahat ke-dua berbunyi. Secepat mungkin gw lari ke kelas Arisa untuk jegat dia. Beruntung dia masih di kelas. ”Ris, ke kantin yuk.” ajak gw dengan gaya stay cool. ”Tumben lw yang ajak gw. Sebentar ya gw mau beres-beres dulu.” jawab Arisa. ”Mau minum atau makan? Biar gw yang pesenin.” tawar gw sesampainya di kantin. ”Ngga usah repot-repot, Bay. Lw ajak gw kesini ada yang mau diomongin kan? Langsung aja, ngga usah kebanyakan intro.” jawab Arisa yang seolah-olah sudah tau apa maksud dan tujuan gw ke dia. ”Ehm..Jadi gini Ris, gw...eeemm..gw...” entah kenapa tiba-tiba gw jadi gagap gini ”Apaan?” tanya Arisa dengan ketusnya, kayanya dia udah ngga sabar denger ucapan gw selanjutnya, ”Gw cuma mau minta maaf karena udah nyuekin lw beberapa hari ini. Gw minta maaf dai hati yang paling dalam dengan setulus hati! Please terima maaf gw ini!” lanjut gw sambil memasang wajah memelas. Gw pasrah, dengan ikhlas gw menerima tanggapan dari Arisa ”Gw rela deh ngelakuin apapun asalkan lw maun maafin gw!” sambung gw.

”Ya ampun, jadi lw cuma mau minta maaf? Oke oke gw maafin, tapi mau ngga lw ngelakuin satu hal buat gw?” jawab Arisa sambil menahan tawa, terlihat dari bibirnya yang tersenyum lebar. “Iya gw lakuin apapun yang penting lw mau maafin gw, daripada nanti gw ngga dibolehin Tuhan untuk masuk surga karena dosa yang satu ini.” Balas gw dengan tampang yang masih seperti kucing di film Shrek. “Lw mau ngga jadi pacar gw? Secara gw itu udah bertepuk sebelah tangan sama lw kurang lebih 2 tahunan. Gimana?”jawab Arisa agak gugup. Gw bingung, tapi mau gimana lagi ngga mungkin gw narik kata-kata gw yang sebelumnya, terlambat, mau ngga mau gw terima tawaran Arisa ”Oke deh.”jawab gw singkat. ”Beneran nih? Makasih ya Bay.” ucap Arisa sambil menahan air mata yang sebentar lagi sepertinya akan menetes. ”Kok nangis sih?” tanya gw tanpa pemikiran panjang ”Bego” pikir gw. ”Yah biasalah cewek, gampang emosian. Hehe.” jawab Arisa.

”Selamat ya Ris!!” teriak Dafa dan Tara yang tiba-tiba muncul dari belakang gw. ”Awas lw Bay, kalau Arisa sampai nangis gara-gara lw lagi, langsung gw mutilasi lw!” ancam Tara sambil menunjukkan tinjunya di depan wajahku.

Hari ini untuk pertama kalinya gw pulang bareng cewek, maklum biasanya gw punya cewek itu ngga satu sekolah sama gw. Kami ngga banyak ngomong di motor, paling kalau gw nanya arah ke rumahnya dan itu juga akan dijawab Risa dengan singkat, berasa jadi tukang ojek gw. Sesampainya di rumah gw terus menyesali perkataan gw tadi pas istirahat. ”Seandainya ngga gw ucapin.” kata-kata itulah yang terus ada dalam pikiran gw. Jujur aja sebenarnya gw ngga mau pacaran sama Arisa, padahal dia itu pinter, putih manis, dia juga baik, kalau kata temen-temen gw dia itu ’perfect’, tapi gw juga ngga ngerti kenapa gw ngga mau pacaran sama dia, gw ngerasa ngga ’sreg’ aja kalau ada di deket-deket dia. Yah, ibarat nasi udah jadi bubur, terima ajalah.

14 Maret 2008, bertepatan dengan hari white day gw jadian dengan Arisa. Layaknya orang pacaran, Arisa sering banget sms gw cuma sekedar nanya: udah makan belum? Lagi ngapain? Selamat malam, dan sebagainya yang nantinya cuma gw jawab: udah, lagi tiduran, sama-sama dan jawaban singkat lainnya. Dalam pacaran yang paling gw ngga suka itu smsan ngga penting. Jujur aja ya menurut gw itu semua ngga penting karena cuma menuh-menuhin inbox dan ngabisin pulsa.

Kadang-kadang gw nonton dan jalan bareng Arisa, itu pun kalau dia mengajak, kalau ngga, ya udah gw di rumah aja Facebook-an. 2 bulan pacaran masih gitu-gitu aja, sikap gw juga masih kaya biasa, ngga ada perubahan sampai suatu hari gw ngeliat dia bikin status Facebook kaya gini: ”Gw udah capek kaya gini terus!”. Tiba-tiba aja gw deg-degan, bukan karena takut dimutilasi Tara, tapi ada alasan lain dan gw juga ngga tau apa itu. Setelah bikin status kaya gitu, Arisa jadi ngga pernah sms gw lagi. Awalnya gw biasa aja ngga di sms dia sampe semingguberlalu dan dia tetap ngga pernah sms gw. Karena lagi liburan semester gw juga ngga pernah ketemu dia, tiba-tiba gw ngerasa khawatir, takutnya Arisa sakit atau jangan-jangan dia bunuh diri karena gw bersikap sadis ke dia. Lalu untuk pertama kalinya gw yang sms Arisa duluan. Gw sms : ”Risa, lagi ngapain?”. 1 jam berlalu. 2 jam. 3 jam, dan sms yang gw kirim ngga dibales. Tanpa  pikir panjang langsung gw telepon.

”Halo, Risa?” sapa gw.
”Temannya Risa ya?” Bokapnya yang jawab. Mampus.
”I...iya om, Risanya ada?” jawab gw agak gugup.
”...........”hening ngga ada jawaban.
”Halo?” ucap gw hanya untuk sekedar memastikan apa teleponnya masih tersambung
”Halo, Bayu ya? Sorry tadi aku lagi di dapur, jadi ayahku yang angkat. Tumben telpon, ada apa?” jawab Risa dengan suara lembutnya yang juga mengagetkan gw.
”Oh, ngga kenapa-kenapa pengen aja denger suara lw. Kangen,hehe. Oh iya besok mau nonton ngga?” jawab gw
”Boleh, kamu yang jemput apa ketemuan?” tanyanya.
”Gw jemput aja.” jawab gw sok gentleman.
”Oh oke. Aku tutup ya ibuku lagi repot di dapur aku harus bantu. Sampai ketemu besok.” jawabnya terburu-buru. ”....tuuuuut.....”
Teleponnya putus, tapi rasa khawatir gw hilang setelah denger suaranya itu. Tanpa gw sadari gw tersenyum sambil ngeliat HP. Ngga tau kenapa gw seneng banget hari itu.

Besoknya, gw dan Arisa beneran nonton. Sambil menunggu filmnya mulai gw nanya ”Ris, tumben kemaren sms gw ngga lw bales. Kenapa?”. ”Oh itu, pulsaku habis, aku belum sempat beli. Hehe.” jawab Arisa malu-malu. Pikiran gw tentang Arisa yang mau bunuh diri langsung hilang, ngga ada lagi rasa cemas yang ada cuma rasa ingin melindungi. Belum pernah gw ngerasa kaya gini, bahkkan ke mantan-mantan gw. Kayanya gw mulai merasa jatuh cinta dengan Arisa.

Sikap dingin gw ke dia perlahan-lahan hilang. Gw jadi lebih peduli sama dia dan dia juga semakin peduli sama gw. Bahkan untuk pertama kalinya ada orang yang mau ngasih kejutan spesial ke gw di hari ulang tahun gw dimana biasanya gw cuma disiram atau diceplokin pake telor busuk yang baunya minta ampun sama temen-temen gw. Di hari ulang tahun gw itu Arisa ngasih kue coklat entah apa namanya yang pokonya enak banget. Benar-benar jadi ulang tahun yang ngga bisa gw lupain. Sebelum meniup lilin ulang tahun gw membisikan permohonan gw yaitu : semoga bisa tetap berhubungan sama Arisa sampai kapanpun itu.

Sebagai balasan gw juga memberikan kejutan (abal-abal) ke Arisa saat ulang tahunnya. Gw kasih dia boneka lumba-lumba kesukaannya, ngajak foto bareng di foto box, dan mengajaknya dinner di McD. Walaupun cuma kaya gitu dia keliatannya seneng banget. Dan  masih ada event kaya tahun baru dan valentine yang gw lewatin dengan bahagia bersama Arisa.

14 Maret 2009, tepat setahun gw jadian dengan Arisa. Gw ada janji mau jalan dengan Arisa sebagai perayaan kecil-kecilan dan gw juga mau kasih dia coklat balasan valentine 14 Februari kemarin. Tapi ada satu hal yang bikin gw bingung, dia jarang banget senyum hari ini! Sekalinya senyum itu juga sepertinya sedikit dipaksa. Selama jalan-jalan gw berusaha ingat-ingat apa aja yg udah gw lakuin takutnya ada suatu kesalahan yg gw perbuat ke dia.

14.15 WIB gw dan Arisa makan bareng di KFC. Suasana hening. Lalu gw pun membuka pembicaraan.
”Lw kenapa? Sakit?” tanya gw.
”Ah, ngga. Cuma,ehm...ada yang pengen aku omongin.” jawabnya pelan.
”Apa? Omongin aja. Ngga apa-apa kok.” balas gw. Tiba-tiba Arisa menangis.
”Kenapa? Gw salah ngomong ya?” tanya gw panik.
”Kita putus aja ya.” jawabnya sambil mengusap air matanya.
”Kok gitu?! Gw salah apa? Kok tiba-tiba mau putus?” tanya gw bingung.
“Kamu ngga salah, aku ada alasan sendiri kenapa mau putus.” jawabnya parau.
“Aku….,aku sekeluarga harus pindah ke Singapura karena tugas dinas ayahku.” ucap Arisa sambil menahan tangis.
”Kan kita masih bisa berhubungan lewat telepon.” balas gw yang mencoba untuk tetap mempertahankan hubungan.
”Aku ngga bisa ngejalanin long distance relationship.” jawabnya sambil menyeruput segelas soda.
”Apaan tuh long..long..long apa?” tanyaku dengan kebegoan tingkat maximum.
”Long distance relationship! Hubungan jarak jauh dodol. Aku ngomongnya nih serius jangan bercanda dong.” jawabnya dengan ketus.
”Jadi lw beneran mau pergi? Kapan perginya?” tanya gw serius.
”Hari Sabtu di bandara Soetta jam 10 pagi.” Jawab Arisa sesegukan.
“Bandara mana tuh? Baru denger.”tanyaku lagi dengan kebegoan lebih dari maximum.
”Aduuh....maksudnya bandara Soekarno Hatta. Kamu ih....” jawabnya sambil tersenyum.
”Yaudah nanti gw kesana sama Dafa dan Tara. Kalau gitu kita jadiin hari ini hari terakhir kita berdua yang terindah ya.” ucapku sambil menggenggam tangannya. Arisa tersenyum, dia setuju dengan ideku itu.

Setelah makan kita ke kantin sekolah. Tempat dimana dulu gw dan Arisa pertama jadian. Disana gw dan Arisa bercanda seperti biasa. Saat gw nyalain mesin motor untuk antar Arisa pulang tiba-tiba saja dia menghampiri gw dan mencium pipi kiri gw. “itu cium perpisahan dari gw Bay.” ucapnya. “Oh iya, gw lupa mau kasih coklat ini ke lw. Ini coklat balasan Valentine kemarin. Sekalian angga ini jadi kado terakhir ya.” balas gw sambil nahan air mata. Ngga tau kenapa tiba-tiba aja mata gw terasa panas dan berair, maklum sebagai cowok gw hampir ngga pernah nangis. Setelah memberikan coklat gw pun mencium keningnya. Dan sepanjang perjalanan pulang Arisa memeluk pinggang gw dan terus mengajak gw ngobrol.

Hari Sabtu pun datang. Gw, Dafa dan Tara berangkat ke bandara jam 7 pagi. Dafa  dan Tara hanya diam selama perjalanan, mungkin mereka sedih dengan kepergian sahabatnya itu. Pukul 9.30 kami sampai di bandara. Gw coba hubungin Arisa untuk memberitahu kalau kami sudah di bandara.
“Halo. Bayu? Kenapa?” jawab Arisa.
“Arisa, lw dimana? Gw ada di pintu masuk utama bandara nih.” Jawab gw
“Oh kamu udah sampai? Aku masih di jalan. Mungkin 5 menit lagi sampai. Tunggu aja di situ oke.” jawab Arisa sedikit heran. Teleponnya langsung ditutup.

Ngga sampai 5 menit Arisa sampai di bandara, Dafa, Tara dan Arisa menangis sambil berpegangan tangan, gw yang melihat cuma bisa tersenyum kecil dan menahan tangis. Kami kemudian mengantar Arisa dan keluarganya masuk bandara. Gw memeluk Arisa untuk terakhir kalinya. Pukul 10.03 WIB pesawat yang dinaiki Arisa take off. Gw, Tara dan Dafa melambaikan tangan kemudian pulang. Dafa dan Tara masih sesegukan selama perjalanan pulang. Gw ngga bisa apa-apa. Gw cuma bisa bilang ”Dia ngga akan lupa sama kita.”

3 bulan berlalu. Gw belom dapet kabar lagi dari Arisa, gw juga jarang ketemu dia di chat Facebook. Kadang-kadang kalau ada tukang pos lewat rumah, gw pasang tampang kucing Shrek andalan gw berharap ada surat yg datenga buat gw. Dan akhirnya harapan gw itu terwujud. Sebuah kartu pos dari Singapura yang ditujukan untuk gw, Bayu. Ini isi kartu posnya :
”Bayu, apa kabar di sana? Maaf ya aku baru kasih kabar sekarang,  soalnya aku sibuk sama sekolah baru dan sibuk beres-beres di rumah baru. Oh iya aku juga kirim kartu pos ke Dafa dan Tara. Aku disini sekeluarga baik-baik aja. Kamu jangan lupa makan ya. Sehat selalu, jangan sering-sering sakit. Daripada telepon kan mahal, kamu kirim aja message ke Facebook aku. Oia cepet cari pacar baru, oke. Kapan-kapan aku kirim kartu pos lagi. Bye.”

Ternyata Arisa masih inget gw. Tanpa lw suruh gw cari pacar baru gw pasti akan dapetin tapi kisah cinta gw ngga bakal seindah sama lw dan  rasa sayang gw ke pacar baru gw itu pasti ngga sebesar rasa sayang gw ke lw. You’re my best lover, Ris!

Created By : NT
»» READ MORE..

Untukmu

Gerhana dimalam itu tampak terang sekali. Waktu menunjukkan pukul 2 pagi dan dengan terkantuk-kantuk salma mengulat dikasurnya dan terbangun.

“hoamm, sekarang kan gerhana bulan ya.”tanyanya pada diri sendiri.
Digelarnya sajadah dan langsung melaksanakan tahajud seperti biasa. Selesai tahajud ia teringat kembali bahwa ada gerhana bulan saat itu. Dengan cepat salma berjalan menuju ke atap tempat ia biasa melihat pemandangan.

“cantik banget ya bulannya. Coba ada wahyu disini” celetuk salma dalam hati. Wahyu adalah teman sekelasnya yang ia sukai,  bisa dikatakan gebetan. Ia sudah lama menyukai semenjak putus dengan sigit. Mulai ada benih-benih cinta salma ke wahyu. Satu hal yang membuat salma kecewa kepada wahyu. Mereka berdua berbeda keyakinan. Yap, salma beragama islam sedangkan wahyu beragama kristen, kristen protestan.

“ah, kebanyakan melamun jadi begini, tidur lagi aja deh.”gerutunya sendiri dan bergegas menuju kamarnya.
“hei, wahyu! Sombong banget sih dipanggil ga nyaut.”katanya cemberut.
“eh yayaya, sorry sal aku ga denger”
“never mind. Biasa aja kali itu matanya gapake di sipit-sipitin, haha...”ini dia bagian yang paling salma sukai.
“ahh, emang dari sananya salma..”
“iya tau, gitu aja kok marah.”
“oh iya, dikit lagi valentine kan?”wahyu mengalihkan pembicaraan.
“eh. Iya kenapa emangnya?”tanya cewek itu lemas.
“loh kok kamu sedih begitu sih? Teringat dengan sigit ya?”
“ah engga, siapa yang mikirin dia”dengan senyum kecut salma mencoba tegar didepan gebetannya itu.
“yaah gausah dipikirin gitu lagi, masih banyak yang lain.”hibur wahyu.
“pastilah.. eh itu bu dwi udah dateng”
“oh yaudah, aku balik ke tempatku dulu ya.”senyum wahyu membuat salma geregetan.

Kata-kata dari wahyu membuat salma tidak bisa konsentrasi belajar. Seminggu lagi hari valentine, dan semua orang akan berbagi kasih kepada orang yang mereka cintai. Tapi salma? Baru 3 minggu jomblo, dan tidak tau berbuat apa. Dan tiba-tiba terbesit ide di pikirannya. Dia ingin memberikan sesuatu untuk wahyu, yang spesial pastinya. Tapi apa? Salma bingung. Apa yang wahyu sukai pun salma tidak tau. Dan dia berusaha membujuk satria, teman sebangku wahyu.

“ayolah ri, bantuin aku”salma memohon dengan iba.
“sorry banget sal, gue ga bisa bantu banyak. Gue ga tau apa yang dia suka, soalnya gue juga gak begitu deket dengan dia.”kata satria.
“tapi please bantuin aku cari informasi tentang apa yang dia suka ya?”salma tidak mau menyerah.
“ehm boleh deh, emang kenapa sih? Lo suka ya sama dia?”teriak satria sampai-sampai terdengar oleh seisi kelas, beruntung saja wahyu sedang pergi ke toilet.
“syuuuut!! Jangan keras-keras dong!”
“iya maaf deh, hehe”cengir satria
“tolongin aku cari tau apa yang dia suka ya ri, please..”mohon salma dengan lembut.
“hm oke, tapi ga bisa cepet ya?”
“loh kenapa emangnya?”
“ya lo tau kan, gue gak deket sama dia, nanti gue tanya pelan-pelan deh.”
“oke deh kalo gitu, makasih ya ri.”
“yap, sama-sama.”

Seusai pelajaran selesai dan bel tanda pulang sekolah berbunyi, anak-anak dengan cepat meluncur keuar kelas karena sudah ‘muak’ dengan sekolah yang mereka anggap penjara. Tak terkecuali salma, dengan tidak sabar menunggu satria. Apalagi kalu bukan soal wahyu.

“aduh sorry banget nih sal, gue bingung deh sama dia.”
“bingung kenaoa ri?”ada nada sedikit kecewa dari bibir salma.
“begini lho, tadi gue tanya tentang apa yang dia suka, eh malah dia bilang semuanya. Terus gue tanya lagi slah satunya apa eh malah dia jawab apa aja, bingung kan?”
Selama satria berbicara, salma tak sedikitpun bereaksi, entah karena dia hopeless atau apa.
“hey sal, jangan hopeless gitu dong, lo emang bener-bener suka ya sama dia? Apa sih yang bikin lo suka orang itu? Heran gue.”
“ah, kamu ini ri, aku kasih tau ya. Dia tuh beda banget sama sigit. Wahyu itu orangnya baik banget, dan yang bikin aku suka sama dia, matanya itu sipit kalo lagi cemberut atau lagi ketawa, lucu kan?
“HAH? Ga nyangka guelo bisa bilang begitu.” Kata satria sambil menganga setengah percaya.
“ssst, jangan kasih tau tentang ini ya sekelas, awas kamu”
“tenang aja sal, gue bisa jaga rahasia.”

Deretan toko yang berjejer di mall terkenal itu sudah didatang salma berulang kali, bingung apa yang harus dia beri untuk wahyu di hari valentina itu. Sudah 1 jam lebih ia mengitari mall dan belum ada yang ia beli. Karena lelah dia terpaksa pulang kerumah dengan kecewa.

Paginya disekolah, 3 hari sebelum valentine tiba salma mencoba mendekati wahyu. Rencana salma yang ingin mengatakan rasa sukanya kepada wahyu semakin dekat.

“hey, yu.”sapa salma lembut.
“hey juga sal, ada apa?”
“eh..ada apa apanya?”tanya salma gugup.
“maksudnya ada apa kamu manggil aku gitu lho.”jawab wahyu datar.
“eh gajadi deh.”lalu pergi meninggalkan wahyu dikelas.
“duh susah banget sih bilang suka sama dia”gerutunya pada diri sendiri.
2 hari berlalu dan valentine pun tiba. Salma sudah memutuskan memberi wahyu cup cake buatannya sendiri.
Kelas pun ramai, padahal masih sangat pagi. Dengan terburu-buru salma ke kelas dan memperhatikan siapa yang datang.
“ah itu dia!”senyumnya merekah dan tiba-tiba jantungnya nak turun tak karuan.
Satria yang tau apa yang akan terjadi dengan sigap memberi kode kepada salma.
“sssst sal, sini cepetan!”
“iya iya.”dengan hati-hati salma mengeluarkan cup cake buatannya yang akan diberika untuk wahyu. Semoga sukses, katanya dalam hati.
“hai wahyu, happy valentine ya!”
Eh iya happy valentine juga sal.”tak lupa wahyu memberikan senyum yang terindah untuk salma.
“ini buat kamu yu.”sambil menyodorkan cup cake buatannya.
“wah makasih banyak ya, psti enak deh.”ujar wahyu kegirangan.
“eh ada yang pengen aku kasih tau ke kamu.”
“oh apa itu?”tanya wahyu penasaran.
“nanti deh pulang sekolah aja ya di depan gerbang nanti.”
“oke deh, sekali lagi makasih ya cupcakenya”
“iya sama sama..”

Bel tanda usai sekolah berbunyi, dengan langkah gontai salma juga menyiapkan kata-kata yang pas.saat sampai didepan gerbang, dan tidak melihat tanda-tanda wahyu, dia terkejut dengan suara motor yang menuju salma, berhenti dan membuka kaca helmnya. Ternyata itu wahyu.
“sal, ikut aku sekarang.”pinta wahyu cepat
“mau kemana emang?”
“nanti juga kamu bakal tau, sekarang juga ikut aku.”
Selama dimotor mereka berdua hanya diam. Sampailah mereka di tempat yang sama sekali salma tidak tau. Setelah membuka helm, wahyu angkat bicara.
“ini dia taman yang sering aku kunjungin kalo lagi suntuk dirumah.”sambil mengajak cewek itu duduk di bangku taman.
“ooh iya? Bagus banget aku suka.”asli salma gugup sampai kakinya lemas.
“iya. Oh ya tadi kamu mau ngomong apa?”wahyu to the point.
“yaya...yang mana ya?”dia pura2 tidak tau.
“yang tadi dikelas itu loh, ga lupa kan?”
Salma ber-o ria. Jantungnya hampir berhenti.
“hayo mau ngomong apa?penasaran nih.”tubuhnya mendekat ke salma, semakin deg-degan.
“aaa... aaaku su...suka sama kamu yu, sayang malah.” Huh, perasaan salma lega akhirnya. Tapi satu masalahnya, gimana reaksinya?
“sal, liat mata aku.”
“apa? Kamu kan sipit jadi susah liatnya, hehe.”salma berusaha tidak nervous.
“serius, sebenernya aku juga suka sama kamu, sebelum kamu jadian sama sigit lagi.”wahyu melanjutkan”tapi aku tahu kita beda iman, makanya aku simpen perasaan ini.”
Salma tidak bisa berkata apa-apa. “belum beberapa minggu kamu putus dengan sigit, hati aku udah kebuka lagi, aku pengen banget jadi pacar kamu sal, mau kan?”salma ingin berbicara tapi wahyu memotong.”ah pasti kamu mau bilang ga bisa, gara2 kita beda iman kan?” salma menunduk malu sekaligus bersalah.
“kalo kamu gamau gapapa, kita bisa sahabatan kan?”
“tapi aku mau kok jadi pacar kamu!”teriak salma kegirangan.
“kamu yakin?tapi hati aku gak yakin kalo kamu siap.”
”aku juga sebenernya ga yakin kalo kita pacaran, bukan Cuma beda iman, pasti batin juga, tapi aku seneng kok kamu udah tau isi hati aku.”
“oiya sal, kalo kita sahabatan aja gapapa kan?aku Cuma mau kasih yang terbaik buat kamu aja.”
“hmm gapapa sih, oke kita sahabatan ya!”

Created By : MH
»» READ MORE..

Merajut Kabut


“Asshalatukhairumminannaum… Asshalatukhairumminannaum…” adzan menggema di balik keheningan subuh. Kokok ayam jantan saling sahut-menyahut di pekatnya udara fajar. Embun pagi terjatuh dari rahim langit membasahi untai dedaunan, pertanda lembaran pagi akan segera datang menjejaki bumi. Para petani mulai berlalu-lalang, bersiap banting tulang pergi ke sawah ‘tuk menaklukkan tanah, lumpur dan lintah-lintah nakal. Lampu-lampu 5 watt di pekarangan yang semula menyala, kini secara beruntun dari rumah ke rumah mulai dipadamkan. Suasana kampong yang sibuk dan tenang.
            Mina pun sudah mandi dan shalat subuh. Tiba-tiba ponselnya bordering, ada sebuah pesan masuk. Tertulis dari kang Asep:
‘Mina, bisakah kau ke tempat biasa kita bertemu? Akang ingin bicara. Kalau bisa secepatnya. Akang sedang menunggu.’
Dengan segera Mina membalas pesannya:
‘Baik kang. Tunggu sebentar.’
            Dengan jaket loreng hitamnya Mina langsung bergegas menuju tempat yang dimaksud dengan melewati jalan setapak yang tak begitu jauh dari rumahnya. Sebuah tempat rahasia dimana pasangan kekasih itu serin bertemu. Di bawah pohon rambutan itu sengaja telah Kang Asep buatkan tempat duduk buat mereka berdua. Di batang pohon berdaun lebat itu tertuliskan ukiran huruf M & A dengan bentuk hati yang mengelilinginya. Dari situ bisa terlihat barisan bukit-bukit hijau yang menjulur, lading-ladang padi yg mulai menguning, begitu juga udara pagi yang tak kalah sejuk dan dingin seperti di kutub utara.
            Dari kejauhan Mina melihat sekelilingnya. Di ujung sana mulai terlihat kang Asep yang sedang menunggunya. Sambil melanjutkan perjalanan, ia menghirup dalam-dalam sejuknya udara pagi. Sambil berjalan mendekat dan terus mendekat, perasaan Mina agak ragu., karena ada perasaan tak enak yang tengah menggelayuti pikirannya. Bayangan kang Asep yang semula samar kina mulai terlihat jelas. Kang Asep menyambut kedatangannya dengan senyumannya yang manis yang bahkan lebih manis dari gula jawa.
            “Mina, akhirnya kau datang juga.” Lirih kang Asep dengan wajah gelisah. Mina langsung duduk dan menanyakan ada perihal apa sampai ia harus datang ke sini di pagi sebuta ini.
“Hmm, aku ingin pamit padamu. Aku harus pergi, Mina.”
“Pergi ke mana Kang? Dan kenapa harus pergi? Kau akan meniggalkan begitu saja hubungan kita selama 5 tahun lamanya?!” bentak Mina dengan mata berkaca-kaca. Perlahan gerimis mulai muncul dari kedua matanya yang kuyu. Dengan jemarinya yang lentik kang Asep berusaha menyeka gerimis yang mulai jatuh ke dinding pipi orang yang dikasihinya itu.
“bukan begitu, Mina… tapi akang akan merantau ke kota, daripada harus kerja serabutan, lebih baik aku mencari pekerjaan di sana. Ini juga demi hubungan kita, Mina. Gara-gara masalah pekerjaan, hubungan kita tak direstui. Dan aku pasti kan kembali membawa uang yang banyak untuk membeli rumah, sawah dan aku akan segera menikahimu, Mina.” Bujuk kang Asep dengan nada meyakinkan.
            Tubuh Mina kaku. Lidahnya kelu. Nyalinya rapuh. Batinnya keruh. Mulutnya seolah terkunci rapat. Mina begitu shock atas apa yang telah dinyatakan oleh orang yang begitu dicintainya. Kini gemuruh tengah bersarang di hatinya. Dirangkul tubuhnya yg gemetar oleh kang Asep. Ia menatap sendu wajah Mina yang indah. Bola matanya ang coklat dan bulat bagikan gundu, bulu matanya yang lentik bagaikan kaki kelabang, alisnya yang melengkung laksana pelangi di senja hari, hidungnya yang mancung, tak luput juga pipinya yang empuk seperti kue lapis legit.
            Sebenarnya Asep sangat tak ingin meninggalkan kembang desa yang telah ditaklukinya itu. Tapi, demi Mina dan masa depannya, kang Asep merasa harus melakukan hal itu. Matanya jadi ikut berkaca-kaca terbawa suasana. Sebenarnya kanga Asep tak tega melihat raut wajah Mina, tapi ia tahan gejolak yang membara di hatinya dan berusaha menguatkan diri.
“Baiklah Mina… akang pergi dulu. Ingatlah Mina, kenangan kita akan selalukuukir dalam lembaran sanubariku, tertumpu menjadi sebuah bias cahaya yang ‘kan memantul di langit itu.” Ungkapnya seraya menengadahkan wajah tampannya ke langit.
“Jika kau rindu padaku, lihatlah langit itu. Bayangkanlah ada awan yang tengah membentuk wajahku, niscaya wajah itu akan tersenyum padamu,” lanjutnya seraya tersenyum haru.
“Baiklah, akang pergi dulu. Jaga dirimu baik-baik…” ia pamit lalu berdiri meninggalkan Mina. Tidak lupa dengan tas hitamnya yang sudah tersleting rapat. Ia melangkah pergi.
            Mina terus mencermati langkah orang yang terlanjur disayanginya itu. Perlahan bayangannya yang nyata mulai hilang seolah ditelan kabut di ujung jalan itu. Diiringi siulan burung nan seolah menyanyikan lagu salam perpisahan.
            Kini kegelisahan seakan mengepung hatinya merobek celah-celah kalbu. Ingin rasanya ia memuntahkan segala rasa takut, sedih, dan semua rasa-rasa yang begitu mengusik relung batinnya. Ia pun tak begitu mengerti mengapa ia harus gelisah,. Tetapi yang memang saat ini diinginkan adalah gelisah dan gelisah. Tetapi perasaan disatu sisi hatinya yang lain juga ikut berkecamuk. Hatinya mengecam: Ia harus bertarung dengan perasaan bodohnya itu. Dan tiba-tiba saja ada sebuah kekuatan yang merasuki jiwanya. Ia merasa harus bersikap positif, yakin bahwa kang Asep pasti kembali dan akan segera menikahinya. Ya, segera menikahinya.
Membilang butir cinta diantara alunan desah angin.
Memetik kelopak rindu ditengah goyangan rerumputan.
Kikis naluri kegalauan…
Indah semua itu…
Semua itu… semua itu…
Semoga tak semu.

Kumasih menanti…
Dan ‘kan terus menanti…
Sebari merajut hening kabut
dengan benang kesetiaan
dan jarum waktu yang memisahkan kita.
Akan kusulam menjadi
Senandung kenangan biru
Yang kan terpatri di jiwa nan menggebu…
            Senandung itulah yang selalu dijadikan nyanyian dalam hati kecilnya. Berharap suatu saat nanti pasti kang Asep akan segera menikahinya. Ya, suatu saat nanti yang entah kapan…

Created By : EVE
»» READ MORE..

Time


“Peri Kecil, maaf ya, tapi aku harus pergi.”
“Haruskah?”
“Iya.”
“Sekarang?”
“……”
“Apa nggak bisa diundur beberapa hari lagi?”
“Nggak bisa. Mereka meminta aku sekarang.”
“…..”
“Udah, kamu nggak usah sedih. Suatu saat nanti, kita pasti akan bertemu lagi.”
“Benar?”
“Asal kamu janji mau bertemu aku lagi, aku yakin kita akan bertemu lagi.”
“Kalau gitu, aku berjanji.”
“Janji..”

***

9 tahun kemudian

Gemerincing suara lonceng terdengar nyaring seperti biasanya di pagi-pagi sebelumnya. Aku yang sudah terbiasa dengan suara itu sudah tidak perlu berteriak-teriak minta dihentikan lagi seperti saat aku masih kecil dulu. Karena sekarang, justru aku yang harus membunyikan lonceng itu.
Jangan tanya untuk apa. Ini adalah kebiasaan kami, para penghuni panti asuhan Mutiara Hati untuk membangunkan anak-anak yang masih tertidur lelap. Aku ingat, dulu Bu Ira, pengasuh sekaligus pendiri panti yang sering melakukan hal ini. Tapi karena beliau sudah berumur dan sudah mulai sakit-sakitan, akulah sebagai anak asuhan yang paling tua yang melakukannya.
Paling tua?
Memang!
Sudah 16 tahun aku berada di panti asuhan ini. Kata Bu Ira, ibuku membuangku ketika aku baru berumur beberapa hari. Tragis. Tapi, itulah hidup.

Tepat jam 06.00 aku mulai bersiap-siap berangkat ke sekolah. Sekolah ku sendiri, tidak jauh dari panti. Hanya berjarak beberapa puluh meter. Membuatku lebih senang bersepeda dibandingkan diantar naik motor oleh Mang Danar. Penjaga sekaligus pembantu kami di panti. Bagi kami, Mang Danar sudah seperti kakak kami sendiri. Apalagi, ia memang sudah lama membantu Bu Ira di panti. Dan umurnya pun, tidak jauh beda denganku. Hanya berjarak empat tahun. Itulah sebabnya, terkadang aku suka curhat padanya. Meski terkadang, ada kalanya ia jadi seorang kakak yang menyebalkan.

“Putri berangkat ya!” teriakku dari arah ruang tamu.
Mang Danar yang kebetulan sedang menyiram bunga di teras, menyembulkan kepalanya dari balik pintu.
“Mau dianter Neng?” tanyanya.
Aku menggeleng. “Nggak usah, Mang. Biasanya juga naik sepeda.”
“Sekali-kali atuh.”
“Nggak ah. Kalo ama Mamang, entar diajakin bolos lagi,” kataku pura-pura kesal. Padahal sebenarnya, pagi ini aku sedang ingin diantar.
“Nggak deh. Janji. Kali ini, Mamang anter ampe sekolah. Sehat wal afiat!” seru Mang Danar meyakinkanku.
Aku pura-pura luluh. “Oke deh…. Karena Mang Danar, maksa. Apa boleh buat?”
“Nah, gitu atuh. Yaudah, sok atuh ke halaman. Mamang ambil kunci motor dulu.”
“Sip,” sahutku lalu melangkah keluar menuju halaman.

Udara pagi ini sejuk. Langit bewarna cerah. Ku rentangkan kedua tanganku dan kuhirup udara bersih pagi itu sebanyak-banyaknya. Terdengar suara tawa kecil dibelakangku. Aku menoleh. Seorang anak laki-laki berambut gondrong berdiri disana.
“Hai, Ray,” sapaku padanya. Ray adalah salah satu anak panti asuhan Mutiara Hati. Umurnya baru enam tahun. Akhir-akhir ini ia suka terihat melakukan hal-hal yang tidak penting akibat teman dekatnya sudah diambil oleh salah sebuah keluarga beberapa minggu yang lalu.
“Hai kak,” balasnya sambil tersenyum padaku.

“Baru bangun?” tanyaku saat menyadari ia masih memakai piyama Spongebob nya.
Anak gondrong itu mengangguk.
“Kakak belum berangkat?” tanyanya kemudian.
Aku menggeleng. “Baru aja mau berangkat. Lagi nunggu Mang Danar ngambil kunci motor,” lanjutku.
Tepat setelah aku berkata begitu, Mang Danar datang. “Kita berangkat?” tanyanya penuh semangat.
Aku langsung mengangguk mengiyakan. “Ray, aku berangkat dulu ya…”
“Iya Kak. Hati-hati ya.”
“Oke!” sahutku seraya mengacungkan ibu jariku dan langsung melesat bersama Mang Danar.

***

“Keren, ganteng, tinggi, putih. Ya ampun Put, kalau aku belum punya Leo, aku udah gaet dia.”
Begitulah kata Nara. Sahabatku di SMA 88 ini. Sejak bel istirahat tadi, ia tidak berhenti membicarakan anak baru yang sekarang menjadi teman sekelasnya. Yang katanya dia pintar lah, stay cool lah, baik lah, dan sebagainya. Aku sampai mual mendengarnya.
Tapi adakalanya rasa penasaran hinggap juga di depan mataku.
“Segitu sempurnakah?” tanyaku penasaran.
“Menurutku…. Ya!” seru Nara cepat.
Dasar sahabatku yang satu ini. Kalau sudah menyangkut cowok, emang paling cepet!

Ku tusukkan bakso yang ada dihadapanku tanpa ampun. Dan dengan sekali lahap, ku kunyah bola daging itu.
“Pelan-pelan dong, Put. Kamu cewek tau,” protes Nara yang memang jauh lebih feminim dibandingkan aku.
Aku hanya menganggukkan kepala mengiyakan.
“Oiya, ngomong-ngomong…” kataku seakan teringat sesuatu. “Siapa nama anak baru yang kamu ceritakan itu. Sejak tadi kamu menjelaskan panjang lebar, tapi nggak sedikitpun kamu menyinggung namanya,” lanjutku lalu meneguk jus jeruk yang ku beli dari warung Pak De.
“Oh itu…. Iya, hampir aja lupa. Untung kamu ngingetin. Namanya…. Hmm, sebentar aku ingat-ingat dulu,” katanya sambil menempelkan jari telunjuk di dagunya. “Ah iya, namanya Al. Lebih jelasnya,  Alfred Utama! Kalo nggak salah sih.”

Degg…!
Nama itu….
“Aku nggak salah denger?” tanyaku mengkonfirmasi. Siapa tahu kupingku sedang bermasalah.
“Nggak kok. Kamu nggak salah denger. Aku juga nggak salah ngomong. Namanya Alfred Utama. Atau mungkin… Alfred Wayatama…. Eh, bukan, Alfred Wiyatama… Panjangnya lagi, Alfred Wiyatama Sa..gala. Iya, itu dia. Alfred Wiyatama Sagala. Agak aneh ya namanya?”

“…Panggil aja namaku beberapa kali, dan aku janji aku akan datang…”

“Al…” lirihku.
Sekejap saja mendengar nama itu, tiba-tiba memori sembilan tahun yang lalu terputar lagi. Dulu, aku punya sahabat dekat bernama Alfred Wiyatama. Dia sudah seperti kakak keduaku setelah Mang Danar. Tapi suatu saat, ketika ia berumur tujuh tahun, ia diambil oleh pasangan suami istri yang katanya belum memiliki anak selama perkawinannya yang sudah berumur dua belas tahun.
Semenjak itu, aku belum pernah bertemu Alfred lagi, karena menurut kabar terakhir yang kudengar, Al dibawa keluarga barunya ke Yogyakarta. Aku masih ingat nama keluarga angkat Al. Mereka punya nama belakang Sagala. Tapi, mungkinkah karena itu Al jadi menambahkan nama Sagala di belakang nama Wiyatama-nya? Entahlah, aku tidak tahu. Tapi intinya, saat ini aku sungguh ingin bertemu Al yang sejak tadi dibicarakan Nara.

“Put…. Putri…” panggil Nara membuyarkan lamunanku.
“Apa?”
“Itu…. Itu…” ujarnya sambil menunjuk ke arah pintu masuk kantin.
“Ada apaan sih?” tanyaku bingung. Terkadang Nara memang suka menjadi anak yang membingungkan.
“Itu, Put. Dia…. Dia… Al!” katanya pada akhirnya.
Membuatku sontak menoleh kearah pintu masuk kantin.

Disana, berdiri seorang pria bertubuh tinggi, putih dan dengan gaya rambut mirip-mirip orang Korea. Mata dan wajahnya bulat. Hidungnya mancung. Kalau dilihat dari tempat aku duduk saat ini, ia seperti orang keturunan Turki – Amerika. Tak bisa ku pungkiri perkataan Nara kalau ia benar-benar tampan. Gayanya yang santai dan urakan, membuat mataku kecolongan. Karena aku memang menginginkan tipe pria seperti itu. Dan tipe itu kini ada pada diri Alfred. Sahabat lamaku. Atau bila dugaanku salah, orang asing dalam hidupku.
Untuk sesaat ia menatapku. Dan sorot mata itu….

Tidak salah lagi. Aku sangat mengenal sorot mata yang satu ini. Wajahnya boleh saja berubah. Gayanya boleh saja jadi lebih dingin. Tapi sorot matanya, tidak bisa dibohongi. Ia benar-benar Alfred! Alfred Wiyatama sahabat lamaku.
Cukup lama kami saling bertatapan, sebelum akhirnya Prima dan Egy, dua orang teman barunya yang kini berada di dekatnya, menyuruhnya untuk mengikuti mereka ke salah satu sudut kantin.
Saat itu juga, rasanya aku ingin berteriak. Sempat terlintas dibenakku untuk memanggil namanya dan mengingatkannya kembali kalau ini aku. Putri Anindya. Sahabat lamanya. Teman bermainnya. Tapi entah kenapa tenggorokkanku seperti tercekat. Aku tidak bisa melakukannya. Dan tak akan mau melakukannya disini. Ini lingkungan sekolah. Bisa mati karena malu aku kalau berteriak seperti itu. Apalagi, kini aku melihat the Quinn, geng yang berisikan segerombolan anak-anak kelas tiga, mendekati Al.
Danissa, pimpinan di gerombolan itu yang terlihat paling gencar. Untungnya, Al bersikap acuh. Membuat hatiku sedikit lega melihatnya.

“Mau apa sih mereka. Kecentilan banget,” ujar Nara tiba-tiba. Seakan tahu apa yang ada di fikiranku.
Aku hanya tersenyum kecil. “Namanya juga Danissa,” sahutku lalu menghabiskan jus jeruk yang ada dihadapanku dan bangkit. “Ke kelas yuk,” ajakku, dijawab oleh anggukkan dari Nara, dan tatapan mata bulat di sudut kantin.

***

                Hari sabtu datang. Sudah menjadi kebiasaanku untuk mengantarkan kue-kue buatan Bu Ira ke warung depan komplek perumahan. Hal ini sudah menjadi rutinitas ku setiap hari sabtu sore, semenjak Kak Hanna, salah satu yang tertua dipanti di ambil oleh salah satu pasangan suami istri dua tahun yang lalu.
                Dan hari ini, seperti biasa, aku mengantarkan kue buatan Bu Ira ke warung Mpok Hanum. Biasanya, aku diantar oleh Mang Danar karena jarak warung dari panti yang cukup jauh. Tapi, karena hari ini Mang Danar ada janji dengan Kak Fira, seorang anak perempuan cantik yang rumahnya tepat di depan panti kami, maka tepaksa kali ini aku harus pergi sendiri dengan sepeda kesayanganku.

                Warung Mpok Hanum tampak ramai saat aku datang. Tak salah lagi. Karena memang warung Mpok Hanum dekat dengan tempat bimbel anak-anak sekolah.
                “Assalamu’alaikum…. Mpok!” panggilku saat aku tiba.
                “Wa’alaikum salam. Eh, neng Putri. Tumben sendiri. Si Danar mane?” tanyanya dengan logat betawi yang kental.
“Lagi pacaran,” jawabku singkat sambil menaruh kue-kue yang kubawa di atas nampan yang sudah disiapkan Mpok Hanum.
“Dasar tuh bocah. Udah ngerti pacaran rupanya.”
“Ngerti lah Mpok. Bukan Mang Danar namanya kalo nggak ngerti yang begituan.”
Iye juga sih. Yaudeh, nih duit sisa kemaren. Lain kali bilangin ama Bu Ira, suruh bikin kue yang banyak. Anak-anak pada doyan soalnye.”
“Sip!” sahutku seraya mengangkat ibu jariku. “Yaudah, Putri balik dulu ya Mpok. Assalamu’alaikum!”
“Wa’alaikum salam,” balas Mpok Hanum dari dalam warungnya.
Agak kurang jelas karena aku langsung melangkahkan kakiku kembali ke tempat dimana aku memarkirkan sepedaku.

Namun ada satu pemandangan aneh yang menggangguku sebelum sempat aku meninggalkan tempat itu. Tepat di depanku. Di depan mataku. Seorang pria yang ku kenal sebagai Alfred tengah membukakan salah satu pintu mobil. Tak jauh dibelakangnya, berdiri seorang wanita berambut panjang dengan paras wajah yang cantik dan lembut. Di bandingkan denganku, aku bukan apa-apa.
Wanita itu kini terlihat memasuki mobil yang pintunya tadi dibukakan oleh Al. Dan setelah itu, Al memasuki mobil lewat pintu kemudi.

Kejadian itu singkat. Sangat singkat. Namun, dapat aku rekam baik-baik.
Mungkinkah wanita cantik yang dijemputnya di depan tempat bimbel tadi itu adalah pacarnya?
Wajah Al memang terlihat dingin seperti seminggu terakhir aku melihatnya di sekolah. Tak ada ekspresi apapun saat ia membukakan pintu untuk wanita itu. Wanita itu sendiri tak berkata apapun. Ia sibuk dengan handphonenya.
Tapi, nggak mungkin kan Al membukakan pintu mobil untuk seorang wanita tanpa alasan apapun?

Oke, pertanyaan itu terus mengganjal dihatiku.


***

                Semenjak hari itu, aku selalu bertemu Al di depan tempat bimbel itu. Dan ia selalu terlihat
menjemput wanita cantik itu. Membuatku semakin hari semakin gelisah akibat penasaran siapa wanita yang dijemputnya. Karena semakin hari, mereka semakin terlihat akrab. Tak jarang Al melucu dan membuat wanita itu tertawa. Atau sebaliknya. Intinya, mereka sering terlihat bercanda bersama. Membuatku sedikit sesak melihatnya.

Hari ini genap tiga bulan Al berada di sekolahku. Kami sering berpapasan dan saling melirik. Tapi, tak pernah sekalipun kami saling bicara. Jangankan bicara. Menyapa pun tidak. Awalnya, aku ingin menyapanya lebih dulu. Tapi, karena ketakutanku lebih besar daripada keberanianku, jadilah ku urungkan niatku itu.
Bel pergantian jam berbunyi. Selanjutnya adalah pelajaran Kimia. Pelajaran yang paling aku benci. Bukan karena gurunya. Tapi, entah kenapa untuk pelajaran yang satu itu aku benar-benar payah. Lagipula, untuk apa aku belajar menghapalkan ratusan rumus-rumus Kimia bila pada akhirnya cita-citaku hanya untuk menjadi seorang akuntan.

Kebetulan sekali pada saat itu, Aren, teman sebangku ku mengeluh padaku kalau perutnya terasa sakit, dan minta diantar ke ruang UKS. Maka, tanpa pikir panjang lagi aku langsung menganggukan kepalaku.
Kelas XI IPA-3, yaitu kelas Nara, terlihat sedang berolahraga saat aku dan Aren tengah berjalan menuju ruang UKS. Karena ruang UKS sekolah ku letaknya di pinggir lapangan, dalam arti koridor langsung mengarah ke  lapangan, maka secara langsung aku bisa melihat Al yang sedang mendribel bola melawati Prima dan Wahyu. Pria itu kini tengah mencoba memasukkan bolanya ke dalam ring.

But, wait!!
Ada yag salah. Bola itu tidak mengarah ke dalam ring. Tapi ke arahku!
“Putri, awas!” teriak Aren yang berada tak jauh dariku.
Tapi entah kenapa aku merasa suara Aren sangat jauh. Bahkan aku hampir tak bisa mendengarnya.
Dan, 1…. 2…. 3….

Dakk!!
Bola itu dengan sukses mengenai kepalaku. Seketika itu juga aku terjatuh. Kepalaku terasa pusing. Bola itu mengenaiku dengan sangat keras. Membuat pandangan mataku mengabur.
Sempat kulihat beberapa orang berlarian menghampiriku, termasuk Nara dan Al.
Bisa kulihat mimik kecemasan di wajahnya. Mulutnya pun terlihat komat kamit menggumamkan seusatu yang aku tidak tahu apa maksudnya. Tapi bisa kutebak kalau ia berusaha meminta maaf padaku. Dan setelahnya, aku tak tahu apa yang terjadi. Karena saat itu juga, aku jatuh tak sadarkan diri.

“Putri…!!”
“Ayo, buruan  bawa dia ke UKS. Cepetan!!”


***

“Delapan…. Sembilan…. Sepuluh…!! Canun, aku mulai cari kamu ya…” teriakku pada seorang anak laki-laki yang tidak tahu dimana letaknya akibat ia sedang bersembunyi.
Minggu sore itu cerah. Dan waktu seperti ini aku manfaatkan sebaik-baiknya untuk bermain dengan sahabatku. Jangan tanya siapa namanya. Ia lebih suka di panggil ‘Canun.’ Dan aku sendiri, panggil aku ‘Peri Kecil.’ Ia yang memberiku nama seperti itu.
Hihihi…. Lucu bukan?

Sore ini, aku dan Canun sedang bermain petak umpet. Aku yang kebagian jaga karena aku yang kalah suit. Sedikit menyebalkan karena aku tahu, ia pengumpat yang baik.
“Canun!!” panggilku untuk kesekian kalinya. Sudah sepuluh menit tapi aku belum menemukannya. Huh…. Anak itu sembunyi dimana sih?
“Hei Canun…. Kamu dimana sih? Aku capek nih…. Udah dong, aku nyerah deh!” teriakku akhirnya, menyerah.
Tiba-tiba, aku merasakan seseorang memelukku dari belakang.
“Kena deh!” ujar orang itu.
“Ya ampun, Canun!” seruku kaget. “Kamu ngumpet dimana sih?” tanyaku penasaran.
“Disana,” jawabnya sambil menunjuk ke arah pohon tempat aku mengihtung tadi.
“Sejak tadi, kamu disana?”
“Iya.”

“Dasar! Aku cari kamu sampai ke semak-semak tahu!” ujarku kesal.
“Cup… cup, jangan ngambek dong. Jelek tahu. Nanti pipinya makin embung,” ucapnya seraya mencubit pipiku.
Aku semakin menggembungkan pipiku. Membuat anak laki-laki di depanku tertawa.
“Hahahaha…. Kamu lucu banget sih,” katanya seraya mengacak-acak rambutku. Membuatku sontak terdiam dan langsung memeluknya.
Hening sesaat. “Kamu, nggak akan pergi kan?” ucapku hampir menangis.
Canun terdiam. Dan kemudian membalas pelukanku. “Maunya begitu. Tapi mereka memaksaku.”
“Bilang aja kamu nggak mau.”
“Sudah, tapi mereka terus memaksaku,” jawabnya.
Aku terdiam.
Ia melepaskan pelukannya. Menatapku dalam. Inilah yang aku sukai. Sorot matanya hangat. Membuatku seketika saja terasa jatuh ke dalamnya. Tak akan pernah aku lupakan sorot mata ini. Aku janji.

“Begini aja. Kalau kamu tiba-tiba kangen sama aku, panggil aja namaku beberapa kali, dan aku janji aku akan datang. Entah ke dalam mimpimu, atau langsung dihadapanmu. Oke?” ujarnya sambil mengacungkan jari kelingkingnya.
Aku menghapus air mataku sejenak lalu mengangguk, dan membalas jari kelingkingnya. Saat itu juga aku percaya ia akan menepati janjinya.

Atau tidak sama sekali….

***

“Al….”
“Al….”
“Alfred….”
“Aku mohon, kali ini datanglah, Al…. Canun….”


***

Langit-langit bewarna putih. Itulah hal yang pertama kali aku lihat saat pertama kali aku membuka mataku. Ku kedipkan lagi mataku beberapa kali. Hingga akhirnya, secara jelas aku bisa melihat semuanya. Perlahan aku bangkit dan duduk. Melihat ke sekitar. Dan disanalah aku melihatnya.
Al.
Canun.
Orang yang sejak tadi kusebut namanya.
Ia disana. Duduk diatas kursi yang berada di sudut ruang UKS. Matanya terpejam. Tangannya terlipat di depan dadanya. Rambut dan bajunya berantakan. Sesaat saja aku tahu kalau ia sedang tertidur. Tunggu, munginkah ia menungguiku sejak tadi?
Bila benar, aku tidak tahu harus berkata apa.
Jam menunjukkan waktu pukul empat sore saat aku melihat jam dinding di hadapanku. Ya Tuhan, cukup lama juga aku disini. Dan, mungkinkah selama itu juga Al menungguiku disini?

“Uhuk…. Uhuk…!” aku terbatuk cukup keras saat itu juga. Membuat Al terbangun dan langsung menoleh ke arahku. Untuk sesaat, tatapan kami bertemu.
“Ehm, kamu… sudah bangun?” tanyanya memecah keheningan di antara kami.
Aku mengangguk pelan.
“Bagaimana keadaanmu? Sudah baikan?” tanyanya lagi.
Aku mengangguk lagi.

Hening.

“Apa…” kataku. “Kamu menunggu disini sejak tadi?” tanyaku.
Alfred terdiam sejenak sebelum akhirnya mengangguk. “Iya.”
Ya Tuhan, apa yang harus aku katakan?
“Terima kasih.” Hanya kata itu yang terlontar dari mulutku. Untuk sesaat aku mengutuki diriku sendiri.
“Ya…. Sama-sama,” jawabnya. Singkat.
Aku terdiam. Lagi.
Hening. Lagi.
Langsung saja ku ambil tasku yang diletakkan entah oleh siapa di atas meja di samping kasur. Beberapa saat berkemas, kuputuskan untuk pulang.
Great! Baru saja turun dari kasur, Al sudah menahan tanganku.
“Ikut denganku sebentar,” ujarnya, lalu segera menyeretku keluar ruangan.

***

Sepanjang perjalanan itu, kami hanya saling diam. Al sibuk dengan kemudinya, sementara aku, hanya menatap lurus kedepan. Hingga akhirnya, kami sampai di tempat tujuan.
Badanku seakan memebeku saat aku tahu kemana Al membawaku.
Ini taman yang dulu. Tempat aku bermain petak umpet dengannya. Tempat ia mengucapkan janjinya. Tempat ia mengatakan, kalau ia akan datang saat aku panggil namanya.

Saat itu juga air mataku menetes. Al yang menyadarinya langsung mengusapnya dengan lembut.
“Peri Kecil…. Kenapa kamu nangis?” tanyanya. Membuat air mataku semakin tumpah.
“Kamu…. Kamu bohong!” seruku. “Kamu bohong Canun. Kamu bohong!”
“Apa?”
“Kamu bilang, kamu akan datang saat aku panggil namamu. Kamu bilang, kamu akan ada di hadapanku saat aku kengen sama kamu. Tapi mana? Kamu nggak ada. Kamu nggak datang!” teriakku, mengeluarkan semua hal yang mengganjal di pikiranku selama ini.
Al terdiam menatapku. Dan sorot mata itu….
Sorot mata yang juga aku terima sembilan tahun yang lalu. Saat itu juga Alfred memelukku erat. Erat sekali. Dan hangat, kehangatan yang aku rindukan selama ini. Selama sembilan tahun belakangan ini.
“Maaf…. Maafkan aku, Put. Maafkan aku karena aku sudah melanggar janji kita. Maaf banget…” ujarnya pelan. Tepat di telingaku.
 “Apa kamu tahu…. Kenapa sampai saat ini aku masih disini? Kenapa sampai saat ini, aku belum tinggal dengan keluarga baruku? Itu karena kamu, Al. Karena aku yakin kamu akan datang, yang membuatku tetap tinggal di panti. Karena aku tahu, suatu saat kamu pasti akan mengunjungi aku lagi disini.” Aku terisak. Lagi-lagi air mataku tumpah. “Aku rela, kehilangan beberapa teman terbaikku disini. Kehilangan adik-adikku. Kehilangan orang-orang terbaikku. Itu aku lakukan, demi ingin bertemu kamu lagi, Al. Cuma kamu yang aku tunggu. Karena menunggu kamu aku rela kahilangan mereka. Sembilan tahun aku disini demi kamu, Al!” jelasku panjang lebar.

Membuat Al semakin mempererat pelukannya. Sementara air mataku semakin deras mengalir.
“Maaf, sekali lagi. Aku bener-bener nggak tahu kalau kamu masih menunggu aku disini. Maaf, Put. Aku benar-benar minta maaf. Atas semuanya. Terutama karena aku baru bisa mengunjungimu sekarang. Sejak mengangkatku sebagai anaknya, mereka membujukku untuk ikut ke Jogja. Awalnya, aku menolak. Tapi, mereka terus memaksa, dan aku nggak bisa berbuat apa-apa. Sebelumnya juga, aku ingin berpamitan dulu denganmu. Tapi karena nggak ada waktu lagi, terpaksa aku harus pergi tanpa berpamitan dulu denganmu. Maafkan aku, Put. Aku, benar-benar minta maaf,” jelasnya, lalu melepaskan pelukannya dan menatapku dalam-dalam.
“Mulai saat ini, aku janji nggak akan ninggalin kamu lagi. Dan untuk kali ini, kamu bisa pegang janjiku,” katanya sambil mengusap sisa air mata di pipiku.

Aku terdiam. Membalas sorotan matanya.
“Aku, bisa memegang janjimu?” tanyaku meyakinkan.
Ia mengangguk. “Ya. Kamu bisa pegang janjiku kali ini.”
“Kalau begitu, jangan bohong lagi.”
“Pasti,” ujarnya membelai lembut rambutku.

“Tapi…” kataku teringat sesuatu. “Apa nggak apa-apa?”
“Ng? Apa?”
“Bukannya, kamu udah punya pacar?”
“Pacar?” tanyanya bingung. “Pacar yang mana?”
                “Aku sering ngeliat kamu menjemput seorang wanita di tempat bimbel yang ada di depan komplek. Bukannya dia pacarmu?”
“Oh, dia? Hahahaha….” Al malah tertawa. Membuatku semakin bingung.
“Dia itu Kak Acha. Kakak sepupuku. Masih kuliah semester empat. Setiap hari sabtu, ia mengajar di tepat bimbel itu. Aku yang ditugaskan untuk menjemput dan mengantarnya,” kata pria itu. Jawabannya, melegakan hatiku.
So, anymore?

Aku berpikir. “Hmm…. Kalau gitu, siapa pacarmu?” tanyaku.
“Aku belum punya pacar.”
“Benarkah?”
“Iya,” jawabnya seraya mengangguk. “Tapi, ada seseorang yang aku sayangi saat ini.”
Aku terdiam. “Siapa?”
“Seseorang yang  sejak dulu setia padaku,” jawabnya membuat teka-teki.
“Oya? Siapa dia?” tanyaku. Seketika aku merasa suaraku semakin melemah.
Al tersenyum jail ke arahku. Dan….
 “Orang itu, kamu…” katanya berbisik di telingaku, lalu berlari mengitari taman.
Aku yang baru menyadari perkataannya, kemudian tertawa kecil.
“Al…!!” teriakku lalu mulai mengejarnya.

Hari itu aku sadar, kalau perjuanganku tidak sia-sia. Yah, kalau memang dengan mengorbankan beberapa hal penting dalam hidup kita, itu artinya kita bisa mendapatkan hal yang penting lainnya, kenapa tidak?
Lagipula, cinta pasti mengerti. Dan cinta pasti tau, mana yang terbaik yang akan di pilihnya.

Created By : SAS
»» READ MORE..