Sabtu, 21 April 2012

Time


“Peri Kecil, maaf ya, tapi aku harus pergi.”
“Haruskah?”
“Iya.”
“Sekarang?”
“……”
“Apa nggak bisa diundur beberapa hari lagi?”
“Nggak bisa. Mereka meminta aku sekarang.”
“…..”
“Udah, kamu nggak usah sedih. Suatu saat nanti, kita pasti akan bertemu lagi.”
“Benar?”
“Asal kamu janji mau bertemu aku lagi, aku yakin kita akan bertemu lagi.”
“Kalau gitu, aku berjanji.”
“Janji..”

***

9 tahun kemudian

Gemerincing suara lonceng terdengar nyaring seperti biasanya di pagi-pagi sebelumnya. Aku yang sudah terbiasa dengan suara itu sudah tidak perlu berteriak-teriak minta dihentikan lagi seperti saat aku masih kecil dulu. Karena sekarang, justru aku yang harus membunyikan lonceng itu.
Jangan tanya untuk apa. Ini adalah kebiasaan kami, para penghuni panti asuhan Mutiara Hati untuk membangunkan anak-anak yang masih tertidur lelap. Aku ingat, dulu Bu Ira, pengasuh sekaligus pendiri panti yang sering melakukan hal ini. Tapi karena beliau sudah berumur dan sudah mulai sakit-sakitan, akulah sebagai anak asuhan yang paling tua yang melakukannya.
Paling tua?
Memang!
Sudah 16 tahun aku berada di panti asuhan ini. Kata Bu Ira, ibuku membuangku ketika aku baru berumur beberapa hari. Tragis. Tapi, itulah hidup.

Tepat jam 06.00 aku mulai bersiap-siap berangkat ke sekolah. Sekolah ku sendiri, tidak jauh dari panti. Hanya berjarak beberapa puluh meter. Membuatku lebih senang bersepeda dibandingkan diantar naik motor oleh Mang Danar. Penjaga sekaligus pembantu kami di panti. Bagi kami, Mang Danar sudah seperti kakak kami sendiri. Apalagi, ia memang sudah lama membantu Bu Ira di panti. Dan umurnya pun, tidak jauh beda denganku. Hanya berjarak empat tahun. Itulah sebabnya, terkadang aku suka curhat padanya. Meski terkadang, ada kalanya ia jadi seorang kakak yang menyebalkan.

“Putri berangkat ya!” teriakku dari arah ruang tamu.
Mang Danar yang kebetulan sedang menyiram bunga di teras, menyembulkan kepalanya dari balik pintu.
“Mau dianter Neng?” tanyanya.
Aku menggeleng. “Nggak usah, Mang. Biasanya juga naik sepeda.”
“Sekali-kali atuh.”
“Nggak ah. Kalo ama Mamang, entar diajakin bolos lagi,” kataku pura-pura kesal. Padahal sebenarnya, pagi ini aku sedang ingin diantar.
“Nggak deh. Janji. Kali ini, Mamang anter ampe sekolah. Sehat wal afiat!” seru Mang Danar meyakinkanku.
Aku pura-pura luluh. “Oke deh…. Karena Mang Danar, maksa. Apa boleh buat?”
“Nah, gitu atuh. Yaudah, sok atuh ke halaman. Mamang ambil kunci motor dulu.”
“Sip,” sahutku lalu melangkah keluar menuju halaman.

Udara pagi ini sejuk. Langit bewarna cerah. Ku rentangkan kedua tanganku dan kuhirup udara bersih pagi itu sebanyak-banyaknya. Terdengar suara tawa kecil dibelakangku. Aku menoleh. Seorang anak laki-laki berambut gondrong berdiri disana.
“Hai, Ray,” sapaku padanya. Ray adalah salah satu anak panti asuhan Mutiara Hati. Umurnya baru enam tahun. Akhir-akhir ini ia suka terihat melakukan hal-hal yang tidak penting akibat teman dekatnya sudah diambil oleh salah sebuah keluarga beberapa minggu yang lalu.
“Hai kak,” balasnya sambil tersenyum padaku.

“Baru bangun?” tanyaku saat menyadari ia masih memakai piyama Spongebob nya.
Anak gondrong itu mengangguk.
“Kakak belum berangkat?” tanyanya kemudian.
Aku menggeleng. “Baru aja mau berangkat. Lagi nunggu Mang Danar ngambil kunci motor,” lanjutku.
Tepat setelah aku berkata begitu, Mang Danar datang. “Kita berangkat?” tanyanya penuh semangat.
Aku langsung mengangguk mengiyakan. “Ray, aku berangkat dulu ya…”
“Iya Kak. Hati-hati ya.”
“Oke!” sahutku seraya mengacungkan ibu jariku dan langsung melesat bersama Mang Danar.

***

“Keren, ganteng, tinggi, putih. Ya ampun Put, kalau aku belum punya Leo, aku udah gaet dia.”
Begitulah kata Nara. Sahabatku di SMA 88 ini. Sejak bel istirahat tadi, ia tidak berhenti membicarakan anak baru yang sekarang menjadi teman sekelasnya. Yang katanya dia pintar lah, stay cool lah, baik lah, dan sebagainya. Aku sampai mual mendengarnya.
Tapi adakalanya rasa penasaran hinggap juga di depan mataku.
“Segitu sempurnakah?” tanyaku penasaran.
“Menurutku…. Ya!” seru Nara cepat.
Dasar sahabatku yang satu ini. Kalau sudah menyangkut cowok, emang paling cepet!

Ku tusukkan bakso yang ada dihadapanku tanpa ampun. Dan dengan sekali lahap, ku kunyah bola daging itu.
“Pelan-pelan dong, Put. Kamu cewek tau,” protes Nara yang memang jauh lebih feminim dibandingkan aku.
Aku hanya menganggukkan kepala mengiyakan.
“Oiya, ngomong-ngomong…” kataku seakan teringat sesuatu. “Siapa nama anak baru yang kamu ceritakan itu. Sejak tadi kamu menjelaskan panjang lebar, tapi nggak sedikitpun kamu menyinggung namanya,” lanjutku lalu meneguk jus jeruk yang ku beli dari warung Pak De.
“Oh itu…. Iya, hampir aja lupa. Untung kamu ngingetin. Namanya…. Hmm, sebentar aku ingat-ingat dulu,” katanya sambil menempelkan jari telunjuk di dagunya. “Ah iya, namanya Al. Lebih jelasnya,  Alfred Utama! Kalo nggak salah sih.”

Degg…!
Nama itu….
“Aku nggak salah denger?” tanyaku mengkonfirmasi. Siapa tahu kupingku sedang bermasalah.
“Nggak kok. Kamu nggak salah denger. Aku juga nggak salah ngomong. Namanya Alfred Utama. Atau mungkin… Alfred Wayatama…. Eh, bukan, Alfred Wiyatama… Panjangnya lagi, Alfred Wiyatama Sa..gala. Iya, itu dia. Alfred Wiyatama Sagala. Agak aneh ya namanya?”

“…Panggil aja namaku beberapa kali, dan aku janji aku akan datang…”

“Al…” lirihku.
Sekejap saja mendengar nama itu, tiba-tiba memori sembilan tahun yang lalu terputar lagi. Dulu, aku punya sahabat dekat bernama Alfred Wiyatama. Dia sudah seperti kakak keduaku setelah Mang Danar. Tapi suatu saat, ketika ia berumur tujuh tahun, ia diambil oleh pasangan suami istri yang katanya belum memiliki anak selama perkawinannya yang sudah berumur dua belas tahun.
Semenjak itu, aku belum pernah bertemu Alfred lagi, karena menurut kabar terakhir yang kudengar, Al dibawa keluarga barunya ke Yogyakarta. Aku masih ingat nama keluarga angkat Al. Mereka punya nama belakang Sagala. Tapi, mungkinkah karena itu Al jadi menambahkan nama Sagala di belakang nama Wiyatama-nya? Entahlah, aku tidak tahu. Tapi intinya, saat ini aku sungguh ingin bertemu Al yang sejak tadi dibicarakan Nara.

“Put…. Putri…” panggil Nara membuyarkan lamunanku.
“Apa?”
“Itu…. Itu…” ujarnya sambil menunjuk ke arah pintu masuk kantin.
“Ada apaan sih?” tanyaku bingung. Terkadang Nara memang suka menjadi anak yang membingungkan.
“Itu, Put. Dia…. Dia… Al!” katanya pada akhirnya.
Membuatku sontak menoleh kearah pintu masuk kantin.

Disana, berdiri seorang pria bertubuh tinggi, putih dan dengan gaya rambut mirip-mirip orang Korea. Mata dan wajahnya bulat. Hidungnya mancung. Kalau dilihat dari tempat aku duduk saat ini, ia seperti orang keturunan Turki – Amerika. Tak bisa ku pungkiri perkataan Nara kalau ia benar-benar tampan. Gayanya yang santai dan urakan, membuat mataku kecolongan. Karena aku memang menginginkan tipe pria seperti itu. Dan tipe itu kini ada pada diri Alfred. Sahabat lamaku. Atau bila dugaanku salah, orang asing dalam hidupku.
Untuk sesaat ia menatapku. Dan sorot mata itu….

Tidak salah lagi. Aku sangat mengenal sorot mata yang satu ini. Wajahnya boleh saja berubah. Gayanya boleh saja jadi lebih dingin. Tapi sorot matanya, tidak bisa dibohongi. Ia benar-benar Alfred! Alfred Wiyatama sahabat lamaku.
Cukup lama kami saling bertatapan, sebelum akhirnya Prima dan Egy, dua orang teman barunya yang kini berada di dekatnya, menyuruhnya untuk mengikuti mereka ke salah satu sudut kantin.
Saat itu juga, rasanya aku ingin berteriak. Sempat terlintas dibenakku untuk memanggil namanya dan mengingatkannya kembali kalau ini aku. Putri Anindya. Sahabat lamanya. Teman bermainnya. Tapi entah kenapa tenggorokkanku seperti tercekat. Aku tidak bisa melakukannya. Dan tak akan mau melakukannya disini. Ini lingkungan sekolah. Bisa mati karena malu aku kalau berteriak seperti itu. Apalagi, kini aku melihat the Quinn, geng yang berisikan segerombolan anak-anak kelas tiga, mendekati Al.
Danissa, pimpinan di gerombolan itu yang terlihat paling gencar. Untungnya, Al bersikap acuh. Membuat hatiku sedikit lega melihatnya.

“Mau apa sih mereka. Kecentilan banget,” ujar Nara tiba-tiba. Seakan tahu apa yang ada di fikiranku.
Aku hanya tersenyum kecil. “Namanya juga Danissa,” sahutku lalu menghabiskan jus jeruk yang ada dihadapanku dan bangkit. “Ke kelas yuk,” ajakku, dijawab oleh anggukkan dari Nara, dan tatapan mata bulat di sudut kantin.

***

                Hari sabtu datang. Sudah menjadi kebiasaanku untuk mengantarkan kue-kue buatan Bu Ira ke warung depan komplek perumahan. Hal ini sudah menjadi rutinitas ku setiap hari sabtu sore, semenjak Kak Hanna, salah satu yang tertua dipanti di ambil oleh salah satu pasangan suami istri dua tahun yang lalu.
                Dan hari ini, seperti biasa, aku mengantarkan kue buatan Bu Ira ke warung Mpok Hanum. Biasanya, aku diantar oleh Mang Danar karena jarak warung dari panti yang cukup jauh. Tapi, karena hari ini Mang Danar ada janji dengan Kak Fira, seorang anak perempuan cantik yang rumahnya tepat di depan panti kami, maka tepaksa kali ini aku harus pergi sendiri dengan sepeda kesayanganku.

                Warung Mpok Hanum tampak ramai saat aku datang. Tak salah lagi. Karena memang warung Mpok Hanum dekat dengan tempat bimbel anak-anak sekolah.
                “Assalamu’alaikum…. Mpok!” panggilku saat aku tiba.
                “Wa’alaikum salam. Eh, neng Putri. Tumben sendiri. Si Danar mane?” tanyanya dengan logat betawi yang kental.
“Lagi pacaran,” jawabku singkat sambil menaruh kue-kue yang kubawa di atas nampan yang sudah disiapkan Mpok Hanum.
“Dasar tuh bocah. Udah ngerti pacaran rupanya.”
“Ngerti lah Mpok. Bukan Mang Danar namanya kalo nggak ngerti yang begituan.”
Iye juga sih. Yaudeh, nih duit sisa kemaren. Lain kali bilangin ama Bu Ira, suruh bikin kue yang banyak. Anak-anak pada doyan soalnye.”
“Sip!” sahutku seraya mengangkat ibu jariku. “Yaudah, Putri balik dulu ya Mpok. Assalamu’alaikum!”
“Wa’alaikum salam,” balas Mpok Hanum dari dalam warungnya.
Agak kurang jelas karena aku langsung melangkahkan kakiku kembali ke tempat dimana aku memarkirkan sepedaku.

Namun ada satu pemandangan aneh yang menggangguku sebelum sempat aku meninggalkan tempat itu. Tepat di depanku. Di depan mataku. Seorang pria yang ku kenal sebagai Alfred tengah membukakan salah satu pintu mobil. Tak jauh dibelakangnya, berdiri seorang wanita berambut panjang dengan paras wajah yang cantik dan lembut. Di bandingkan denganku, aku bukan apa-apa.
Wanita itu kini terlihat memasuki mobil yang pintunya tadi dibukakan oleh Al. Dan setelah itu, Al memasuki mobil lewat pintu kemudi.

Kejadian itu singkat. Sangat singkat. Namun, dapat aku rekam baik-baik.
Mungkinkah wanita cantik yang dijemputnya di depan tempat bimbel tadi itu adalah pacarnya?
Wajah Al memang terlihat dingin seperti seminggu terakhir aku melihatnya di sekolah. Tak ada ekspresi apapun saat ia membukakan pintu untuk wanita itu. Wanita itu sendiri tak berkata apapun. Ia sibuk dengan handphonenya.
Tapi, nggak mungkin kan Al membukakan pintu mobil untuk seorang wanita tanpa alasan apapun?

Oke, pertanyaan itu terus mengganjal dihatiku.


***

                Semenjak hari itu, aku selalu bertemu Al di depan tempat bimbel itu. Dan ia selalu terlihat
menjemput wanita cantik itu. Membuatku semakin hari semakin gelisah akibat penasaran siapa wanita yang dijemputnya. Karena semakin hari, mereka semakin terlihat akrab. Tak jarang Al melucu dan membuat wanita itu tertawa. Atau sebaliknya. Intinya, mereka sering terlihat bercanda bersama. Membuatku sedikit sesak melihatnya.

Hari ini genap tiga bulan Al berada di sekolahku. Kami sering berpapasan dan saling melirik. Tapi, tak pernah sekalipun kami saling bicara. Jangankan bicara. Menyapa pun tidak. Awalnya, aku ingin menyapanya lebih dulu. Tapi, karena ketakutanku lebih besar daripada keberanianku, jadilah ku urungkan niatku itu.
Bel pergantian jam berbunyi. Selanjutnya adalah pelajaran Kimia. Pelajaran yang paling aku benci. Bukan karena gurunya. Tapi, entah kenapa untuk pelajaran yang satu itu aku benar-benar payah. Lagipula, untuk apa aku belajar menghapalkan ratusan rumus-rumus Kimia bila pada akhirnya cita-citaku hanya untuk menjadi seorang akuntan.

Kebetulan sekali pada saat itu, Aren, teman sebangku ku mengeluh padaku kalau perutnya terasa sakit, dan minta diantar ke ruang UKS. Maka, tanpa pikir panjang lagi aku langsung menganggukan kepalaku.
Kelas XI IPA-3, yaitu kelas Nara, terlihat sedang berolahraga saat aku dan Aren tengah berjalan menuju ruang UKS. Karena ruang UKS sekolah ku letaknya di pinggir lapangan, dalam arti koridor langsung mengarah ke  lapangan, maka secara langsung aku bisa melihat Al yang sedang mendribel bola melawati Prima dan Wahyu. Pria itu kini tengah mencoba memasukkan bolanya ke dalam ring.

But, wait!!
Ada yag salah. Bola itu tidak mengarah ke dalam ring. Tapi ke arahku!
“Putri, awas!” teriak Aren yang berada tak jauh dariku.
Tapi entah kenapa aku merasa suara Aren sangat jauh. Bahkan aku hampir tak bisa mendengarnya.
Dan, 1…. 2…. 3….

Dakk!!
Bola itu dengan sukses mengenai kepalaku. Seketika itu juga aku terjatuh. Kepalaku terasa pusing. Bola itu mengenaiku dengan sangat keras. Membuat pandangan mataku mengabur.
Sempat kulihat beberapa orang berlarian menghampiriku, termasuk Nara dan Al.
Bisa kulihat mimik kecemasan di wajahnya. Mulutnya pun terlihat komat kamit menggumamkan seusatu yang aku tidak tahu apa maksudnya. Tapi bisa kutebak kalau ia berusaha meminta maaf padaku. Dan setelahnya, aku tak tahu apa yang terjadi. Karena saat itu juga, aku jatuh tak sadarkan diri.

“Putri…!!”
“Ayo, buruan  bawa dia ke UKS. Cepetan!!”


***

“Delapan…. Sembilan…. Sepuluh…!! Canun, aku mulai cari kamu ya…” teriakku pada seorang anak laki-laki yang tidak tahu dimana letaknya akibat ia sedang bersembunyi.
Minggu sore itu cerah. Dan waktu seperti ini aku manfaatkan sebaik-baiknya untuk bermain dengan sahabatku. Jangan tanya siapa namanya. Ia lebih suka di panggil ‘Canun.’ Dan aku sendiri, panggil aku ‘Peri Kecil.’ Ia yang memberiku nama seperti itu.
Hihihi…. Lucu bukan?

Sore ini, aku dan Canun sedang bermain petak umpet. Aku yang kebagian jaga karena aku yang kalah suit. Sedikit menyebalkan karena aku tahu, ia pengumpat yang baik.
“Canun!!” panggilku untuk kesekian kalinya. Sudah sepuluh menit tapi aku belum menemukannya. Huh…. Anak itu sembunyi dimana sih?
“Hei Canun…. Kamu dimana sih? Aku capek nih…. Udah dong, aku nyerah deh!” teriakku akhirnya, menyerah.
Tiba-tiba, aku merasakan seseorang memelukku dari belakang.
“Kena deh!” ujar orang itu.
“Ya ampun, Canun!” seruku kaget. “Kamu ngumpet dimana sih?” tanyaku penasaran.
“Disana,” jawabnya sambil menunjuk ke arah pohon tempat aku mengihtung tadi.
“Sejak tadi, kamu disana?”
“Iya.”

“Dasar! Aku cari kamu sampai ke semak-semak tahu!” ujarku kesal.
“Cup… cup, jangan ngambek dong. Jelek tahu. Nanti pipinya makin embung,” ucapnya seraya mencubit pipiku.
Aku semakin menggembungkan pipiku. Membuat anak laki-laki di depanku tertawa.
“Hahahaha…. Kamu lucu banget sih,” katanya seraya mengacak-acak rambutku. Membuatku sontak terdiam dan langsung memeluknya.
Hening sesaat. “Kamu, nggak akan pergi kan?” ucapku hampir menangis.
Canun terdiam. Dan kemudian membalas pelukanku. “Maunya begitu. Tapi mereka memaksaku.”
“Bilang aja kamu nggak mau.”
“Sudah, tapi mereka terus memaksaku,” jawabnya.
Aku terdiam.
Ia melepaskan pelukannya. Menatapku dalam. Inilah yang aku sukai. Sorot matanya hangat. Membuatku seketika saja terasa jatuh ke dalamnya. Tak akan pernah aku lupakan sorot mata ini. Aku janji.

“Begini aja. Kalau kamu tiba-tiba kangen sama aku, panggil aja namaku beberapa kali, dan aku janji aku akan datang. Entah ke dalam mimpimu, atau langsung dihadapanmu. Oke?” ujarnya sambil mengacungkan jari kelingkingnya.
Aku menghapus air mataku sejenak lalu mengangguk, dan membalas jari kelingkingnya. Saat itu juga aku percaya ia akan menepati janjinya.

Atau tidak sama sekali….

***

“Al….”
“Al….”
“Alfred….”
“Aku mohon, kali ini datanglah, Al…. Canun….”


***

Langit-langit bewarna putih. Itulah hal yang pertama kali aku lihat saat pertama kali aku membuka mataku. Ku kedipkan lagi mataku beberapa kali. Hingga akhirnya, secara jelas aku bisa melihat semuanya. Perlahan aku bangkit dan duduk. Melihat ke sekitar. Dan disanalah aku melihatnya.
Al.
Canun.
Orang yang sejak tadi kusebut namanya.
Ia disana. Duduk diatas kursi yang berada di sudut ruang UKS. Matanya terpejam. Tangannya terlipat di depan dadanya. Rambut dan bajunya berantakan. Sesaat saja aku tahu kalau ia sedang tertidur. Tunggu, munginkah ia menungguiku sejak tadi?
Bila benar, aku tidak tahu harus berkata apa.
Jam menunjukkan waktu pukul empat sore saat aku melihat jam dinding di hadapanku. Ya Tuhan, cukup lama juga aku disini. Dan, mungkinkah selama itu juga Al menungguiku disini?

“Uhuk…. Uhuk…!” aku terbatuk cukup keras saat itu juga. Membuat Al terbangun dan langsung menoleh ke arahku. Untuk sesaat, tatapan kami bertemu.
“Ehm, kamu… sudah bangun?” tanyanya memecah keheningan di antara kami.
Aku mengangguk pelan.
“Bagaimana keadaanmu? Sudah baikan?” tanyanya lagi.
Aku mengangguk lagi.

Hening.

“Apa…” kataku. “Kamu menunggu disini sejak tadi?” tanyaku.
Alfred terdiam sejenak sebelum akhirnya mengangguk. “Iya.”
Ya Tuhan, apa yang harus aku katakan?
“Terima kasih.” Hanya kata itu yang terlontar dari mulutku. Untuk sesaat aku mengutuki diriku sendiri.
“Ya…. Sama-sama,” jawabnya. Singkat.
Aku terdiam. Lagi.
Hening. Lagi.
Langsung saja ku ambil tasku yang diletakkan entah oleh siapa di atas meja di samping kasur. Beberapa saat berkemas, kuputuskan untuk pulang.
Great! Baru saja turun dari kasur, Al sudah menahan tanganku.
“Ikut denganku sebentar,” ujarnya, lalu segera menyeretku keluar ruangan.

***

Sepanjang perjalanan itu, kami hanya saling diam. Al sibuk dengan kemudinya, sementara aku, hanya menatap lurus kedepan. Hingga akhirnya, kami sampai di tempat tujuan.
Badanku seakan memebeku saat aku tahu kemana Al membawaku.
Ini taman yang dulu. Tempat aku bermain petak umpet dengannya. Tempat ia mengucapkan janjinya. Tempat ia mengatakan, kalau ia akan datang saat aku panggil namanya.

Saat itu juga air mataku menetes. Al yang menyadarinya langsung mengusapnya dengan lembut.
“Peri Kecil…. Kenapa kamu nangis?” tanyanya. Membuat air mataku semakin tumpah.
“Kamu…. Kamu bohong!” seruku. “Kamu bohong Canun. Kamu bohong!”
“Apa?”
“Kamu bilang, kamu akan datang saat aku panggil namamu. Kamu bilang, kamu akan ada di hadapanku saat aku kengen sama kamu. Tapi mana? Kamu nggak ada. Kamu nggak datang!” teriakku, mengeluarkan semua hal yang mengganjal di pikiranku selama ini.
Al terdiam menatapku. Dan sorot mata itu….
Sorot mata yang juga aku terima sembilan tahun yang lalu. Saat itu juga Alfred memelukku erat. Erat sekali. Dan hangat, kehangatan yang aku rindukan selama ini. Selama sembilan tahun belakangan ini.
“Maaf…. Maafkan aku, Put. Maafkan aku karena aku sudah melanggar janji kita. Maaf banget…” ujarnya pelan. Tepat di telingaku.
 “Apa kamu tahu…. Kenapa sampai saat ini aku masih disini? Kenapa sampai saat ini, aku belum tinggal dengan keluarga baruku? Itu karena kamu, Al. Karena aku yakin kamu akan datang, yang membuatku tetap tinggal di panti. Karena aku tahu, suatu saat kamu pasti akan mengunjungi aku lagi disini.” Aku terisak. Lagi-lagi air mataku tumpah. “Aku rela, kehilangan beberapa teman terbaikku disini. Kehilangan adik-adikku. Kehilangan orang-orang terbaikku. Itu aku lakukan, demi ingin bertemu kamu lagi, Al. Cuma kamu yang aku tunggu. Karena menunggu kamu aku rela kahilangan mereka. Sembilan tahun aku disini demi kamu, Al!” jelasku panjang lebar.

Membuat Al semakin mempererat pelukannya. Sementara air mataku semakin deras mengalir.
“Maaf, sekali lagi. Aku bener-bener nggak tahu kalau kamu masih menunggu aku disini. Maaf, Put. Aku benar-benar minta maaf. Atas semuanya. Terutama karena aku baru bisa mengunjungimu sekarang. Sejak mengangkatku sebagai anaknya, mereka membujukku untuk ikut ke Jogja. Awalnya, aku menolak. Tapi, mereka terus memaksa, dan aku nggak bisa berbuat apa-apa. Sebelumnya juga, aku ingin berpamitan dulu denganmu. Tapi karena nggak ada waktu lagi, terpaksa aku harus pergi tanpa berpamitan dulu denganmu. Maafkan aku, Put. Aku, benar-benar minta maaf,” jelasnya, lalu melepaskan pelukannya dan menatapku dalam-dalam.
“Mulai saat ini, aku janji nggak akan ninggalin kamu lagi. Dan untuk kali ini, kamu bisa pegang janjiku,” katanya sambil mengusap sisa air mata di pipiku.

Aku terdiam. Membalas sorotan matanya.
“Aku, bisa memegang janjimu?” tanyaku meyakinkan.
Ia mengangguk. “Ya. Kamu bisa pegang janjiku kali ini.”
“Kalau begitu, jangan bohong lagi.”
“Pasti,” ujarnya membelai lembut rambutku.

“Tapi…” kataku teringat sesuatu. “Apa nggak apa-apa?”
“Ng? Apa?”
“Bukannya, kamu udah punya pacar?”
“Pacar?” tanyanya bingung. “Pacar yang mana?”
                “Aku sering ngeliat kamu menjemput seorang wanita di tempat bimbel yang ada di depan komplek. Bukannya dia pacarmu?”
“Oh, dia? Hahahaha….” Al malah tertawa. Membuatku semakin bingung.
“Dia itu Kak Acha. Kakak sepupuku. Masih kuliah semester empat. Setiap hari sabtu, ia mengajar di tepat bimbel itu. Aku yang ditugaskan untuk menjemput dan mengantarnya,” kata pria itu. Jawabannya, melegakan hatiku.
So, anymore?

Aku berpikir. “Hmm…. Kalau gitu, siapa pacarmu?” tanyaku.
“Aku belum punya pacar.”
“Benarkah?”
“Iya,” jawabnya seraya mengangguk. “Tapi, ada seseorang yang aku sayangi saat ini.”
Aku terdiam. “Siapa?”
“Seseorang yang  sejak dulu setia padaku,” jawabnya membuat teka-teki.
“Oya? Siapa dia?” tanyaku. Seketika aku merasa suaraku semakin melemah.
Al tersenyum jail ke arahku. Dan….
 “Orang itu, kamu…” katanya berbisik di telingaku, lalu berlari mengitari taman.
Aku yang baru menyadari perkataannya, kemudian tertawa kecil.
“Al…!!” teriakku lalu mulai mengejarnya.

Hari itu aku sadar, kalau perjuanganku tidak sia-sia. Yah, kalau memang dengan mengorbankan beberapa hal penting dalam hidup kita, itu artinya kita bisa mendapatkan hal yang penting lainnya, kenapa tidak?
Lagipula, cinta pasti mengerti. Dan cinta pasti tau, mana yang terbaik yang akan di pilihnya.

Created By : SAS

0 komentar:

Posting Komentar