Suasana sekolah jam-jam segini memang lumayan sepi,
karena memang jam pelajaran sudah selesai. Tinggal Aku dan Vira yang masih
setia duduk-duduk di taman sekedar menunggu matahari agak turun ke barat. “Vir,
aku boleh minta tolong nggak?”, tanyaku setengah memelas. “Minta tolong apaan?”,
jawab Vira masih serius dengan komik ditangannya. “Kamu masih inget Luna kan? Mantanku yang
sekarang pengen banget baikkan sama aku?” “Hem,,,trus?” “Dia nggak bakalan
nyerah bikin aku nerima dia lagi” “Terus” “Aku tuh risih banget sama sikap dia
akhir-akhir ini. Dia tuh kayak satpam aku aja. Segala urusanku dia tau”
“Terus?” “Dia bakalan bener-bener mundur kalo aku udah punya cewek dan dia
harus tau siapa cewek itu” “Terus?” “Kok terus-terus sih. Sebenernya kamu
dengerin ceritaku nggak sih”. Akhirnya Vira menutup komiknya. “Iya aku
dengerin. Sekarang kamu maunya apa?” “Aku mau minta tolong kamu. Aku mau kamu
pura-pura jadi cewekku. Terus aku kenalin ke Luna. Dengan begitu Luna nggak
akan ganggu aku lagi” “Apa !!!”, Vira kaget mendengarnya. “Nggak usah screaming
gitu napa sih? Biasa aja lagi” “Emang nggak ada ide laen”. Aku menggeleng.
“Kenapa sih mesti aku? Gimana kalo Putri aja. Dia kan cantik, tinggi, pinter. Serasi banget
deh sama kamu. Lagian kamu kan
juga akrab sama dia. Jadi kalo ngomong masih nyambung” “Nggak bisa, Vir. Kalo kamu kan udah tau ceritanya dari awal. Jadi kalo
ada apa-apa paling nggak kamu bisa mengantisipasi”, aku terus memberi alasan.
“Sori, Rik, tapi aku nggak bisa” “Kenapa, Vir? Masa kamu nggak mau nolongin
sahabat kamu sih?” “Bukannya nggak mau , Rik. Tapi nggak bisa” “Terus alasannya
apa?” “Aku nggak bisa nanggung resikonya. Kamu yakin, kalo Luna tau kamu udah
punya cewek, dia akan ngejauhin kamu? Kalo dia kirim intel buat mata-matain
kamu gimana? Terus kalo dia tahu ini cuma bo’ongan gimana?”. Kami terdiam
sejenak. “Ya udah kalo kamu nggak mau nolongin aku”, kataku agak kecewa. “Idih
di bilang nggak bisa, bukannya nggak mau” “Ye,,,sama aja kan?” “Nggak sama lagi” “Whatever lah. Mau
pulang bareng nggak? Udah nggak panas nih”. Vira mengangguk kemudian mengikuti
langkahku.
Sudah 3 hari
semenjak kejadian di sekolah sore itu, aku dan Vira tidak pernah membahasnya
lagi. Aku dan Vira sudah bersahabat sejak 1,5 tahun yang lalu. Tepatnya setelah
kami masuk SMA yang sama. Vira adalah orang kepercayaanku. Aku selalu
menceritakan apa yang ku alami padanya. Dan Vira selalu memberi solusi bagi
masalahku atau hanya sekedar pendengar setia cerita-ceritaku. Termasuk cerita
Luna, mantan pacarku. Tapi satu hal yang selalu jadi pertanyaanku, Vira jarang
sekali bercerita panjang lebar padaku. Dan Aku pun tak pernah bertanya padanya.
Aku takut menyinggung persaannya. Aku pikir biar Vira sendiri yang nantinya
cerita padaku. Tapi lama kelamaan aku penasaran juga pada sikapnya itu. Apalagi
sejak ada 2 cowok beda jurusan yang terang-terangan nembak dia. Dengan cueknya
dia menolak cowok-cowok itu. Hingga suatu hari… “Vir, aku mau tanya boleh
nggak?” “Ya”, jawab vira sambil terus membaca novel di tangannya. “Kalo boleh
tau alasan kamu nolak Mikki sama Agung apaan sih? Padahal banyak cewek yang
ngefans sama Mikki. Eh, malah kamu tolak. Kamu tuh aneh. Jangan-jangan kamu
lesbian ya”, Godaku. “Hus,,, ngawur. Aku masih normal lagi. Pengen tau kenapa?
Soalnya kalo aku punya cowok, terus yang nemenin kamu siapa? Aku kan orangnya setia
kawan”, Vira tertawa. “Sialan, aku serius nih” “Aku juga serius”. Vira nggak
mau ngalah. “Nyerah deh ngomong sama kamu”. Vira cuma tertawa mendengarnya.
“Ternyata manis juga cewek di sampingku ini”, kataku dalam hati. Deg,,,
tiba-tiba seperti ada persaan aneh di hatiku. Sampai di rumah aku terus
memikirkan ada apa sebenarnya dengan Vira. Kenapa dia begitu anti dengan cowok.
Apa dia sudah punya pacar. Tapi aku nggak pernah sekalipun melihatnya jalan
dengan cowok. Di dompet ataupun bukunya tidak pernah ada foto cowok ataupun
nama seseorang. Kalaupun dia trauma karena pernah disakiti oleh cowok, dia
nggak pernah menunjukkan gejala-gejala seperti itu. “Vira, kamu sahabatku yang
penuh misteri”, kataku. Tiba-tiba aku berpikir, “Selama ini aku adalah cowok
yang paling beruntung karena aku paling dekat dengan Vira”.
Keesokan harinya,,,
“Vir, anterin aku ke toko buku yok !”, ajakku. “Tumben kamu ke toko buku, Rik.
Nggak salah alamat?” “Entar pulangnya aku traktir deh” “Tawaran yang bagus tuh,
ayok deh” “Duh, senengnya kalo denger traktiran”. Vira tertawa. “Ternyata dia
memang manis. Aduh, aku kenapa lagi?”, ungkapku dalam hati. Sedang enak-enaknya
memilih buku tiba-tiba ada yang menepuk pundakku. “Hei, Rik. Senengnya bisa ketemu
kamu di sini”. Aku cuma tersenyum kecut begitu tau siapa yang menyapaku. “Eh,
Luna” “Kamu sama siapa, Rik?”, tanyanya. Aku langsung teringat Vira. Spontan
aku menjawab, “Cewekku. Tuh dia di sana”.
Telunjukku mengarah pada rak tempat novel-novel. Sejenak aku melihat raut muka
kecewa pada wajah Luna. Tapi kemudian dia kembali tersenyum. “Kenalin dong”,
ajaknya. Tidak berapa lama kami sudah sampai di tempat Vira sedang membaca
novel. Aku memegang pundaknya kemudian ia tersenyum. “Vir, kenalin ini Luna. Lun,
kenalin ini Vira”. Vira mengulurkan tangannya sambil tersenyum. “Senang kenalan
sama kamu”, ucap Luna. “Udah berapa lama jadian?”, sambungnya. Aku sempat
memandang wajah Vira yang kini berubah ekspresi dari ramah menjadi kaget dan
bingung. “Baru 3 bulan”, jawabku, karena aku tau Vira takkan menjawabnya. “Kalo
begitu selesai sudah penantianku”, Luna menghela nafas kecewa. “Selamat ya.
Semoga kalian langgeng”, katanya mencoba tersenyum. Vira hanya terdiam. Aku
jadi serba salah. “Aku duluan ya. Masih ada perlu”, pamit Luna. Aku mengangguk.
Tidak lama setelah punggung Luna tidak terlihat, Vira akhirnya membuka
mulutnya. “Makasih ya, Rik. Aku pulang dulu”, dari nadanya terdengar kalo dia
marah. Dan aku yang telah menyebabkannya. Aku nggak mau bikin keributan di
dalam toko buku.ini dengan berteriak memanggil namanya. Makanya aku
mengikutinya sampai depan. “Vir, dengerin alasanku dulu”, kataku sambil meraih
lengannya. “OK, aku dengerin alasan kamu kalo itu masuk akal”, katanya. Tapi ia
tetap tak mau menatap mataku. “Vir, aku bener-bener minta maaf. Waktu Luna
nyapa aku, yang ada dipikiranku cuma ide itu. Dan kamu satu-satunya yang bisa
nolong aku”, aku memberi alasan. “Tapi kamu tau kan kalo aku nggak setuju dengan ide itu.
Dan kamu juga tau apa alasannya. Sori, Rik, mungkin sikapku terlalu
berlebihan”, ucap Vira sambil memandang mataku lekat-lekat, tapi kemudian
pandangannya beralih kembali. “Kamu udah ngejelasin dan aku udah denger.
Sekarang biarin aku pulang”. Vira menarik lengannya. Sejenak aku terdiam. Apa aku
harus mengatakan yang sebenarnya, pikirku. Ah…aku tidak mau membiarkan dia
pergi lagi. “Vira…aku cinta kamu. Itu alasan sebenarnya”, kataku setengah
berteriak agar Vira yang berjarak 5 langkah dariku, bisa mendengar jelas
kalimatku. Aku tak tau maksudku tersampaikan atau tidak, dia terus pergi sampai
hilang dari batas pandanganku.
Setelah kejadian
itu, dia tidak pernah menyapaku. Hingga 3 hari setelahnya, aku berpikir, aku
harus minta maaf padanya, untuk itu aku menulis pesan yang berisi permohonan
maafku untuknya.
Aku bergegas pergi
ke rumahnya, dengan membawa pesan yang kutulis. Ternyata, baru saja Vira
meninggalkan rumahnya. Aku segera mengejar mobilnya. Akhirnya mobilnya
tersusul, aku mensejajarkan motorku dan mobilnya, memberikan isyarat agar
mobilnya berhenti.
Tin…!Tin…!Tin…!
Entah mengapa aku tak mendengar suara klakson truk yang berada di
depanku.
“Rik, menyingkir dari situ !” Vira berteriak padaku, tapi aku tak
medengarkannya.
…Brakkkk…!
Itulah akhir dari hidupku, pergi dengan mata tertutup dan tubuh
penuh dengan darah. Pergi tanpa berhasil mengucapkan maaf untuknya.
Tapi pesanku sampai padanya, namun kertas putih tertutup percikan tinta merah dari setiap sel-sel darah
merah yang keluar dari tubuhku. Vira tak dapat membacanya.
“Selamat Tinggal, aku sudah memaafkanmu” kata itu
membuatku tenang meninggalkannya, membiarkannya bahagia...
Created By : GAP
Created By : GAP