Aku akan selalu
merindukannya. Semua tentang dirinya. Tentang bagaimana ia meyakinkan
aku lewat sinar bola matanya yang cerah dan menampakkan ketegasan.
Tentang bagaimana ia memaparkan semua mimpi-mimpinya lewat bibir mungil
yang selalu menebarkan liukan senyum yang indah. Tentang bagaimana ia
mendengarkan semua keluh kesahku dan menyeretku ke dunia yang tak pernah
aku kunjungi sebelumnya.
Rambutnya yang panjang dan hitam
berkilau. Matanya yang bulat dan bersinar bagai batu rubi yang tersiram
sinar matahari. Kulitnya yang putih bersih bagai pualam. Suaranya yang
menyejukkan bak semilir angin malam yang berhembus di siang bolong. Aku
sungguh tak dapat melupakannya.
Aku masih ingat ia sering
mengajakku duduk di halaman belakang sekolah. Sebuah tempat sakral yang
jarang sekali dikunjungi siswa lain selain kami berdua. Sebuah tempat
dimana ia sering mengutarakan segala keinginannya padaku.
“Lo pengen jadi apa setelah lulus nanti?” tanyanya sambil terus melahap Souffle Apricot Almond yang dibawanya dari rumah.
Aku terdiam. Sejujurnya aku tak pernah memikirkan itu. “Entah.”
“Entah? Lo pelajar putih abu-abu semester akhir dan lo nggak tau mau pergi kemana setelah ini?”
“Gua
nggak pernah berpikir untuk melanjutkan kuliah. Bokap gua cuma buruh
kontruksi dan nyokap gua cuma buruh cuci yang jualan kue di waktu
senggang. Gua harus jadi apa?”
“Ya lo harus jadi bos dari sebuah perusahaan kontruksi atau jadi pengusaha kue terkenal!” serunya.
Aku menatapnya tak percaya. Apa yang ada di pikiran gadis ini sebenarnya?
“Gua
tau lo punya latar belakang ekonomi yang buruk. Tapi, coba liat diri
lo. Lo itu pintar Surya! Lo bisa ambil beasiswa bahkan mungkin beasiswa
keluar negeri?”
“Itu berlebihan.”
“Nggak ada yang
berlebihan. Bob Sadino dulunya jualan kue keliling kampung, tapi
sekarang justru orang-orang kampung itu memuji namanya.” Gadis
disampingku ini menyuap lagi Souffle-nya. “Lo cuma butuh tekad dan rasa
percaya diri kok,” tambahnya.
Aku terdiam mencerna kata-katanya. Dan aku menyadari, semua perkataannya benar.
Setelah
hari itu, aku jarang lagi bertemu dengannya. Waktu ujian yang semakin
dekat membuatnya harus sering mengambil waktu pelajaran tambahan di
tempat bimbingan belajarnya atau mengambil waktu untuk privat. Pertemuan
kami jadi hanya sebatas bercakap-cakap di depan pintu kelas atau saling
menyapa saat bertemu di koridor sekolah.
Aku sendiri bertekad
untuk membuatnya bangga padaku. Aku belajar lebih keras setiap malam.
Mengambil jadwal belajar tambahan dengan mengadakan belajar kelompok
bersama teman-temanku, hingga merogoh uang tabunganku untuk membeli
suplemen vitamin penambah daya ingat.
Untungnya, usahaku tidak
sia-sia. Ujian berlangsung kemudian, dan hasil yang aku dapat cukup
memuaskan. Paling tidak, aku berada di antara daftar 2o anak dengan
nilai terbaik satu sekolah. Kulihat namanya berada jauh di atasku. Ia
berhasil meraih peringkat lima. Luar biasa.
Tekadku untuk
membuatnya bangga padaku tak berhenti sampai disitu. Ku ikuti lagi
beberapa tes beasiswa baik dalam maupun luar negeri. Meski masih tak
jelas akan memilih jurusan apa, paling tidak aku harus mendapatkan
beasiswa itu.
Esoknya, aku berniat untuk bertandang kerumahnya.
Sudah hampir dua bulan sibuk dengan kegiatan masing-masing, aku jadi
benar-benar melupakannya dan baru menyadari kalau aku begitu
merindukannya. Dengan baju terbaik yang aku miliki, dan sekotak coklat
ukuran kecil, ku tekan bel bel pintu rumahnya dan seorang wanita paruh
baya dengan kebaya coklat mendatangiku sambil tergopoh-gopoh. Dia Bi
Sumi. Pembantu disana.
“Cari non Chiara ya?” tanyanya sudah mengenaliku.
Aku mengangguk. “Chiaranya ada?”
“Wah maaf nak Surya. Non Chiara nya lagi dirawat di rumah sakit. Nak Surya nggak tau?”
“Rumah sakit?” aku mengulangi.
Bi
Sumi mengangguk. “Non Chiara kena kanker otak, nak Surya. Sudah
seminggu ini katanya Bapak sama Ibu belum keluar dari ICU. Keadaannya
lagi kritris.”
Deg. Kalimat terakhir yang di ucapkan Bi Sumi
dengan cepat menusuk dadaku. Tenggorokanku terasa tercekat. Jantungku
berdegup kencang dan nafasku naik turun tak beraturan. Ku jatuhkan kotak
coklat itu di lantai dan dengan cepat ku berlari menuju rumah sakit.
Menuju ruang ICU.
Disana, aku berhasil menemui Tante Ida. Wajah
wanita paruh baya itu nampak tirus dan pucat. Di bawah bola matanya
terdapat kantung yang tebal dan sembab. Ia pasti terus menangis
semalaman. Sementara Oom Anwar, baru keluar dari dalam ruangan ketika
aku tiba. Ia mengenaliku.
“Surya?” tanyanya memastikan.
<span class="fullpost">
Aku berjalan menghampiri mereka. “Chiara kenapa Oom, Tante?” tanyaku tanpa basa-basi.
Oom Anwar menatap istrinya. “Begini Surya. Chiara, divonis menderita kanker otak stadium akhir.”
“Stadium akhir?”
Oom Anwar mengangguk. “Kemungkinan terburuk yang akan ia dapatkan adalah, hidupnya mungkin hanya dua bulan lagi.”
Lagi-lagi
kalimat terakhir itu menohok jantungku. Badanku terasa lemas dan aku
merasa kepalaku begitu berat. Perutku terasa mual dan ingin rasanya aku
meninju sesuatu sekarang. Ku intip sosok Chiara yang terbaring lemah
dari jendela kaca pintu. Ku tarik nafas dalam-dalam dan ku buka pintu
ruang ICU perlahan.
Seketika, suasana dingin yang dipenuhi bau
alkohol menyambutku. Aku benci suasana ini. Begitu menegangkan dan
mencekam. Seakan-akan aku merupakan satu-satunya orang yang hidup di
dalam rumah seorang zombie.
Ku langkahkan kakiku mendekati
ranjang. Dan barulah terlihat jelas wajah Chiara yang tengah memakai
tabung oksigen. Di sampingnya, ada monitor pemancar denyut jantung yang
bunyi ‘bip-bip’ nya bagaikan bunyi suara gaungan singa yang kelaparan
dan kau akan merasa ketakutan bila berada di dekatnya. Beberapa kabel
lain terhubung ke dadanya. Selang infus mengalir menuju nadi kanannya.
Dan senyumnya… ya Tuhan, bahkan disaat seperti ini senyum itu pun tak
hilang dari wajah cantiknya.
“Chiara,” panggilku lirih. “Ini gua
Surya. Betapa bodohnya gua memperkenalkan diri gua sendiri ke elo
padahal gua yakin lo mengenali suara gua.” Aku tertawa kecil. Tanganku
menggenggam erat tangan Chiara.
“Ra, dulu lo pernah nanya ke gua
tentang apa yang bakal gua lakuin sehabis gua keluar dari sekolah kan?”
aku menatap wajahnya. “Sekarang, gua tau apa yang bakal gua lakuin, Ra.
Gua… pengen jadi seorang dokter. Gua pengen ngobatin orang yang sakit
terutama elo. Gua pengen ngeliat lo sembuh. Gua nggak mau ngeliat lo
begini. Gua mau ngeliat senyum lo lagi. Kalau gua jadi dokter nanti, gua
janji gua bakal ngobatin lo dan ngerawat lo sampai sembuh.” Aku menelan
ludah. Tak terasa air mata mengalir deras melewati pipiku.
“Ra,
gua… gua sayang sama lo, Ra. Gua nggak mau kehilangan lo. Gua nggak suka
ngeliat lo begini. Lo harus bangun, Ra!” seruku kesal. Kesal karena
Chiara sepertinya tak mendengar semua ucapanku, kesal karena Tuhan
membiarkan gadis seperti Chiara harus berjuang melawan penyakitnya.
Aku
menunduk. Genggaman tanganku semakin erat pada tangan Chiara. Dan tak
lama, kuarasakan ada yang bergerak. Tangan Chiara! Tangan Chiara
bergerak untuk membalas genggamanku.
Aku mengangkat lagi kepalaku.
Ku lihat Chiara perlahan membuka matanya. Pelan-pelan, dan dia
menatapku. Senyumnya mengembang dan sinar matanya yang cerah kembali
menghiasi wajahnya yang pucat.
Aku menghapus air mataku. “Hai, Ra,” sapaku berusaha tegar.
“Hai, Sur…ya,” jawabnya terbata. “Gua… dengar semua…nya. Tentang… mimpi lo,” tambahnya pelan.
Aku mengangguk. “Gua mau jadi dokter, Ra. Gua mau nyembuhin lo. Tolong, sampai waktu itu datang, lo harus bertahan buat gua.”
Chiara mengangguk. “Gua… menunggu, Surya. Gua... menunggu,” katanya sambil setengah terpejam.
Aku
terdiam. Lagi-lagi air mataku mengalir. Aku sadar, Chiara baru pulih.
Tak seharusnya aku mengajaknya berbicara seemosional ini. Aku harus
membiarkannya beristirahat.
Setelah hari itu, ku dengar keadaan
Chiara jauh lebih baik. Ia sudah dipindahkan ke ruang rawat inap dan
para dokter berkata kalau ini merupakan mukjizat. Tapi meski begitu,
tubuh Chiara menjadi sangat kurus setiap harinya. Ia tidak nafsu makan
dan sering terjaga tiap malam.
“Lo harus makan, Ra,” suruhku di satu waktu.
“Nggak
mau.” Chiara menggeleng. “Lo bilang gua jelek kalo lagi gendut,
sekarang gua mau kurus.” Ia terkekeh kemudian. Tawanya memang tak pernah
hilang sepanjang waktu. Begitu juga senyumnya yang selalu mengembang
setiap harinya. Membuatku yakin kalau Chiara akan baik-baik saja.
Acara
perpisahan tiba. Sekaligus hari dimana akan diumumkannya hasil dari tes
beasiswa yang telah dilaksanakan oleh beberapa instansi sekolah. Aku
sudah persiapkan diri untuk hasil yang terburuk. Biar bagaimanapun, aku
sudah berusaha maksimal.
Chiara tidak hadir dalam acara itu.
Dokter melarangnya ikut dengan alasan ia masih belum cukup kuat untuk
duduk berlama-lama di dalam ruangan. Aku datang bersama ibuku pagi itu.
Dengan kemeja lungsuran dari ayah yang biasa digunakannya untuk melamar
pekerjaan dulu, serta sepatu dan jas hitam hasil pinjaman dari majikan
ibu, aku duduk di ruangan itu dengan perasaan tidak karuan.
Ibu
bilang, aku bisa lulus saja sudah merupakan anugrah yang terindah
untuknya yang hanya lulusan sekolah dasar. Tapi aku ingin lebih dari
itu. aku ingin mendapatkan beasiswa itu meski aku tak benar-benar yakin
pada diriku sendiri.
Acara dimulai. Begitu membosankan. Sejak awal
hingga akhir acara yang ada hanyalah sambutan. Entah dari kepala
sekolah, wakil kesiswaan, beberapa guru bidang studi, atau pidato
anak-anak yang memiliki nilai terbaik satu sekolah. Kalaupun ada
pertunjukkan, hanya sebuah pertunjukkan kecil yang dimainkan oleh
anak-anak kelas 10 dan 11 yang bahkan tak aku kenali siapa mereka.
Sampai akhirnya, salah seorang guru BP naik ke atas podium dan
mengatakan kalau beliau akan menyebutkan nama anak yang akan mendapatkan
beasiswa.
“Hanya ada tiga orang,” katanya dari
microphone. “Yang pertama saya panggil, Maura Arinadya dari kelas 12 Bahasa-1”
Seketika
ruangan berubah meriah. Kata ‘selamat’ terdengar riuh mengiringi
langkah kaki seorang gadis dengan balutan kebaya hijau menuju ke atas
panggung. Ia tak henti mengumbar senyum.
“Yang kedua, dari 12 IPS-3, Bagus Andrea.”
Lagi-lagi
ruangan terdengar riuh. Bagus berjalan dengan mantap menuju ke atas
panggung setelah sebelumnya ia sempat menyalami tangan ibunya.
“Dan yang terakhir, dari 12 IPA-1.” Si guru menghentikan kata-katanya sejenak. “Surya Kurniawan.”
Dapat
kurasakan jantungku lepas dari tempatnya sekarang. Mulutku menganga dan
aku begitu senang sampai tak tau apa yang harus aku lakukan. Beberapa
temanku menepuk pundakku dari belakang, memberi selamat. Ibuku menatapku
bangga. Aku bangkit dari tempat dudukku dan perlahan berjalan menuju
panggung. Tepuk tangan masih menggema dan dapat aku dengar riuh suara
teman-teman sekelasku meneriaki namaku.
Kepala sekolah maju kemudian. Menyerahkan piagam,
trophy,
dan juga tanda bukti berupa cek yang bisa aku cairkan setelah aku masuk
ke perguruan tinggi negeri. Aku begitu bahagia. Kata-kata Chiara
akirnya jadi kenyataan.
Sepulang dari acara, aku langsung berlari
menuju rumah sakit. Dan langkah kakiku terhenti ketika melihat ranjang
Chiara telah bersih. Aku bertanya pada suster yang berada disana dan
mereka mengatakan kalau Chiara sudah pulang beberapa menit yang lalu.
Ini hebat. Aku mendapatkan beasiswa dan Chiara akhirnya diizinkan
pulang. Aku harus merayakannya.
Rumah Chiara begitu ramai ketika
aku tiba. Belasan mobil terparkir memenuhi pelataran hingga ke jalan
disekitarnya. Beberapa orang dengan pakaian hitam berlalu lalang.
Bendera kuning melambai tepat didepan rumah berlantai dua itu. Aku
terpaku. Ada apa ini sebenarnya?
Ku terobos kerumunan pengunjung
yang menyemut di halaman, ku langkahkan kakiku menuju ruang tamu tanpa
permisi. Dan disana, di bagian tengah ruangan itu, kulihat Tante Ida
tengah menangis di depan tubuh seseorang yang tengah tertidur lelap
dalam balutan kain batik. Di belakangnya, Oom Anwar menenangkan.
Sesekali memeluk istrinya penuh kasih.
Aku melangkah mendekat. Piagam dan
trophy
masih berada di tanganku. Dengan tangan gemetar, ku singkap kain
penutup wajah orang yang tengah tertidur itu. Dan seketika itu, aku
terkesiap. Ia Chiara. Orang yang tengah tertidur itu Chiara.
Wajah
gadis itu nampak tirus namun tenang dalam tidur panjangnya. Kulitnya
yang putih bersih, nampak lebih pucat sekarang. Satu hal yang tak
berubah. Senyum itu. Senyum yang selalu membangkitkan segala rasa
optimis dan keyakinan dalam diri siapa saja yang melihatnya. Senyum yang
selalu jadi pelengkap kecantikannya. Senyum itu, meski kali ini nampak
begitu kaku, namun tetap terlihat tegas dan manis. Senyum itu, aku akan
selalu merindukannya.
Bahkan hingga saat ini. Ketika aku telah
mengganti seragam putih abu-abuku dengan jas putih dan stetoskop yang
menggantung di leherku. Ketika aku sudah mampu mengobati orang lain
dengan kanker otak yang bersarang ditubuh mereka. Ketika aku duduk
disini, di depan pusaranya. Di depan pahatan indah bertuliskan nama
‘Chiara Hakim.’
Terima kasih, Chiara. Karena sudah mengizinkanku
melihat mata paling cerah yang tak pernah dimiliki siapapun. Karena
sudah mau memperlihatkan senyuman paling indah yang tak pernah dimiliki
siapapun. Karena sudah mau mengajarkanku untuk menjadi orang yang
optimis dalam menjalani hidup ini. Semua ini, untukmu Chiara.
Pengabdianku, untuk menghilangkan rasa penyesalanku karena tak berhasil
menyelamatkan hidupmu. Terima kasih Chiara, untuk pernah menjadi
sahabatku. Aku akan selalu merindukanmu.
Salam sahabatmu, Dr. Surya Kurniawan.
Created By : SAS
</span>